Sabtu, 28 Oktober 2017

Haji Johannes Cornelis Princen, Mantan Desertir yang Menjadi Pejuang HAM

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: arsipindonesia.com, upload.wikipedia.org, yapthiamhien.org
Tidak semua orang Belanda senang dan bangga dengan penjajahan bangsanya terhadap Indonesia, melainkan sebagian justru antipati sehingga kemudian berpihak kepada Indonesia dan turut berjuang melawan Belanda demi kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, kolonialisme Belanda di Indonesia, selain melahirkan pejuang dan pahlawan pribumi asli dari Indonesia, juga memunculkan pejuang dan pahlawan dari pihak Belanda. Mereka adalah orang-orang asli Belanda, tetapi dianggap sebagai pahlawan Indonesia karena menyeberang dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia walaupun harus melawan bangsanya sendiri. 
Oleh Belanda, mereka tentu saja dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan negara, tetapi oleh bangsa Indonesia, mereka dinobatkan sebagai pahlawan karena telah berpihak dan berjuang untuk Indonesia dalam melawan imperialisme Belanda yang sangat lama dan kejam. Mereka kemudian menjadi warga negara Indonesia serta menghabiskan sisa-sisa masa hidupnya di Indonesia. Mereka rela dianggap sebagai pengkhianat bangsanya (Belanda) demi bersimpati dan membela nilai-nilai kemanusiaan bangsa Indonesia yang diinjak-injak Belanda melalui imperialismenya.
Salah satu dari orang-orang Belanda itu adalah Cornelis Princen, seorang anggota tentara Kerajaan Hindia Belanda. Princen adalah orang Belanda tulen yang menjadi anggota militer Belanda dengan setengah terpaksa dan kurang menyukai perang. Kebrutalan perang seringkali membuatnya tidak nyaman dan kekejaman tentara Belanda terhadap rakyat Indonesia membuatnya tak tahan untuk lari dari barisan pasukan Belanda untuk memihak dan berjuang bagi Indonesia.

Sumber: 1.bp.blogspot.com

Pria bernama lengkap Haji Johannes Cornelis Princen ini lahir di Den Haag, Belanda, pada 21 November 1925 dan wafat tanggal 22 Februari 2002 akibat stroke. Princen dimakamkan di Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Saat wafat, Princen meninggalkan seorang istri dan empat orang putra.
Poncke, demikian panggilan akrabnya, menghabiskan masa kecil dan remajanya di Belanda di tengah suasana Perang Dunia II. Setamat sekolah dasar, ia melanjutkan studi ke sekolah menengah seminari (1939–1943). Poncke menjadi tawanan Nazi (Jerman) ketika Belanda diduduki pasukan pimpinan Hitler itu. Ia sempat disekap di camp  konsentrasi Nazi dan dijatuhi hukuman mati, tetapi luput dari eksekusi.
Setelah bebas dari sekapan Nazi, pada penghujung tahun 1944 Poncke justru ditahan pemerintah Belanda akibat menolak mengikuti program wajib militer. Kendatipun tidak menyukai perang, ia terpaksa mengikuti dinas militer. Ia dikirim ke Indonesia untuk bergabung dalam pasukan kerajaan Hindia-Belanda, KNIL.
1.   Tidak Menyukai Perang
Poncke merasa tersiksa oleh perang. Perang bagi Poncke menjadi penyebab penderitaan serta penjajahan merupakan bentuk penindasan. Di Belanda ia melihat serta merasakan sendiri kebrutalan dan kebengisan tentara Nazi terhadap rakyat Belanda. Saat menjadi anggota militer Belanda di Indonesia, ia melihat dan merasakan langsung kesadisan tentara Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Berdasarkan pengalamannya itu Poncke berkesimpulan: Belanda tiada bedanya dengan Nazi Jerman. Keduanya, dalam pandangan Poncke, sama-sama melakukan kekejaman dan penindasan. Hal ini menyebabkan akal sehat dan hati nuraninya bekerja cepat untuk menggerakkannya meninggalkan pasukan Belanda. Ia sadar, jika tetap menjadi bagian dari bala tentara Belanda, ia merasa tak ubahnya dengan tentara Nazi yang melakukan kezaliman terhadap sesama manusia.

Sumber: www.engelfriet.net

 Poncke pun kemudian memutuskan untuk melakukan desersi dan menyeberang ke barisan tentara Indonesia. Ia meninggalkan Jakarta  pada 26 September 1948 untuk bergabung dengan pasukan TNI Divisi Siliwangi guna turut berjibaku mempertahankan Yogyakarta dari agresi pasukan Belanda. Poncke juga terlibat dalam longmarch  dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Selama berbulan-bulan ia aktif dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda. Ia sempat mengalami shock ketika istrinya, yang seorang perempuan Sunda, dibunuh tentara Belanda dalam suatu pertempuran. Sang istri meninggal bersama dengan bayi yang masih berada dalam kandungannya.  
Poncke rupanya memang menjadi salah satu incaran khusus pasukan Belanda. Di negeri asalnya pun, ia gencar mendapat kecaman, makian, dan ancaman pembunuhan akibat berpihak kepada Indonesia. Ia dianggap sebagai pengkhianat yang pantas untuk dihabisi. Namun, ia tiada peduli: tetap konsisten membela Indonesia.
Pada tahun 1949, Poncke menanggalkan kewarganegaraan Belandanya serta beralih menjadi warga negara Indonesia (WNI). Pada tahun itu pula ia mendapat anugerah Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno. Setelah resmi menjadi warga negara Indonesia, Poncke juga memutuskan untuk menjadi mualaf (pemeluk Islam), dengan dalih tidak ingin tanggung-tanggung menjadi ‘orang Indonesia', yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Beberapa tahun kemudian, Poncke menunaikan ibadah haji ke Mekah. Saya ingin menjadi bagian dari negara ini. Saya melakukan yang warga lainnya lakukan," kata Poncke dalam sebuah wawancara.
2.   Dari Serdadu Menjadi Pejuang HAM              
Aktivitas Poncke selama menjadi serdadu cukup jelas memperlihatkan keberpihakannya pada humanisme (nilai-nilai kemanusiaan). Poncke tidak sebagaimana umumnya tentara yang lazim bertempur untuk tujuan yang kerapkali tak jelas, selain membunuh dan menghancurkan. Ia tak bisa menghindar dari perang karena tuntutan tugas dan hati nurani untuk membela pihak yang tertindas (Indonesia).
Oleh karena itu, seusai perang ia ingin segera meninggalkan dinas ketentaraan untuk mempelajari sejarah budaya atau sastra. Poncke menulis dan mengirim surat kepada ibundanya bahwa ia tak ingin selamanya menjadi tentara. Ia mengatakan, masih ada hal penting lain yang perlu ia lakukan.
Di kemudian hari terungkap bahwa hal penting lain itu adalah berjuang menegakkan nilai-nilai kemanusiaan di zona “pertempuran” yang berbeda, tidak lagi melalui perang dengan berpihak pada yang lemah dan tertindas. Kisah hidup Poncke pun memasuki babak baru. Dari berjuang di medan pertempuran untuk membela rakyat yang terjajah, ia ganti berjuang melalui dunia politik dan hukum untuk menegakkan hak asasi manusia (HAM) kaum yang lemah dan terpinggirkan.
Mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Poncke masuk ke gelanggang politik dengan menjadi anggota parlemen (tahun 1956). Ia sempat menjadi salah satu figur yang populer pada tahun 1950-an, tetapi ia merasa jengah oleh dunia politik yang penuh dengan intrik dan penyelewengan sehingga ia memutuskan untuk meninggalkannya. Ia kemudian bersuara vokal mengkritik pemerintahan Presiden Soekarno yang memasuki akhir dasawarsa 1950-an mulai bertindak otoriter. Selama pemerintahan Presiden Soekarno, akibat sikap kritis dan kevokalannya, Princen mengalami dua kali penangkapan dan pemenjaraan oleh sang rezim, yakni pada tahun 1957–1958 dan 1962–1966.

Sumber: arsipindonesia.com

Pertengahan tahun 1960-an Poncke mulai memasuki dunia hukum untuk membela orang-orang miskin dan tertindas. Ia membentuk Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (tahun 1966) serta turut mendirikan dan memimpin Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1970). Poncke juga turut membentuk Indonesia Front for Defending Human Right (1989), Serikat Buruh Merdeka Setiakawan (1990), serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (1998).
Secara pribadi, ia juga menjadi pengacara. Dalam melakukan advokasi, ia tidak membeda-bedakan suku, ras, agama, golongan, dan asal-usul kliennya. Mereka yang pernah menjadi klien Poncke, antara lain, masyarakat dan mahasiswa Timor Timur (sekarang Timor Leste) yang menjadi korban penyerbuan militer rezim Orde Baru; para mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung) yang ditahan karena melakukan demonstrasi terhadap menentang Menteri Dalam Negeri, Rudini (tahun 1989); dan masyarakat Muslim Tanjungpriok, Jakarta, korban pembantaian militer rezim Orde Baru (1984). Poncke bahkan pernah mengadvokasi para mantan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia), mantan lawan politiknya semasa Orde Lama, serta dan orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan PKI.
Sampai menjelang akhir hayatnya, Poncke tetap melakukan tugas kemanusiaan. Meskipun sejak sekitar tahun 1996 menggunakan kursi roda akibat stroke dan usia tua, ia masih melakukan pendampingan hukum. Sekitar delapan bulan sebelum wafat, Poncke menjadi pendamping dan penasihat hukum sekelompok masyarakat Jakarta yang menjadi korban penggusuran Pemerintah Provinsi DKI.

Perjuangan Haji Johannes Cornelis Princen sejak bergabung dengan TNI hingga mendirikan lembaga bantuan hukum dan menjadi pengacara dianggap konsisten dan murni demi kemanusiaan. Oleh sebab itu, ia dipandang layak mendapat apresiasi tinggi. Pada tahun 1992, karena dedikasinya itu, Poncke (bersama Haji Muhidin dan Jhony Simanjuntak) mendapat anugerah Yap Thiam Hien Award, sebuah penghargaan nasional prestisius dalam bidang penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar