Oleh Akhmad Zamroni
Upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia jarang sekali menempatkan figur polisi sebagai tokoh gigih yang
berjuang membasmi korupsi dengan tanpa pandang bulu di berbagai lini, termasuk
terhadap institusinya sendiri. Institusi kepolisian justru sering menjadi
sasaran pemberantasan korupsi karena selama puluhan tahun dianggap menjadi
sarang korupsi yang kronis. Sejarah dan pengalaman berurusan dengan kepolisian beberapa
tahun lalu (dari mengurus SIM, surat kehilangan barang, membayar pajak
kendaraan bermotor, hingga tilang di jalan raya) menunjukkan bahwa institusi
ini memang menjadi lahan subur bagi terjadinya korupsi (pungli, suap, dan
sebagainya).
Namun, sejalan dengan upaya pembenahan
dan pembersihan internal terhadap institusi kepolisian yang mulai membuahkan
hasil positif, muncul figur-figur pejuang antikorupsi dari lembaga ini. Setelah
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 27 Desember 2002 silam, mulai
mencuat nama-nama populer pejuang antikorupsi dari kalangan polisi, seperti
Taufiequrachman Ruki (ketua KPK) dan Bibit Samad Rianto (wakil ketua KPK). Keduanya gigih berjuang melakukan
pemberantasan korupsi, termasuk terhadap institusinya sendiri, hingga Bibit
Samad Rianto sempat mengalami percobaan kriminalisasi (dalam kasus yang dikenal
sebagai “Cicak versus Buaya”).
Di tengah keraguan publik terhadap
keseriusan pembenahan internal kepolisian, kembali institusi ini membuktikan
masih mampu menghasilkan figur bersih dan berintegritas tinggi yang berjuang
gigih memberantas korupsi. Setelah era Taufiequrachman Ruki dan Bibit Samad Rianto
berakhir, muncul sang junior untuk meneruskan perjuangan pendahulunya. Dialah
Novel Baswedan, seorang polisi muda yang keseriusan dan kegigihannya
memberantas korupsi tidak diragukan lagi.
A. Memiliki Darah
Pejuang
Novel Baswedan lahir di Semarang, Jawa
tengah, pada 22 Juni 1977. Novel menamatkan pendidikan menengahnya di SMA
Negeri 2 Semarang dan menyelesaikan pendidikan tinggi kepolisiannya dari Akademi
Kepolisian, Semarang (1998). Ia memiliki darah pejuang. Salah satu kakeknya,
Abdurrahman Baswedan, adalah termasuk Founding
Fathers (Bapak Pendiri Negara) yang tergabung dalam BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) serta menjadi Wakil
Menteri Penerangan dalam Kabinet Sjahrir III
(2 Oktober 1946–27 Juni 1947).
(2 Oktober 1946–27 Juni 1947).
Adapun salah satu saudara sepupu Novel, Anies Baswedan, merupakan
salah satu tokoh muda Indonesia yang cukup menonjol. Anies pernah menjadi
rektor Universitas Paramadina, Jakarta, serta Menteri Kebudayaan dan Pendidikan
Dasar dan Menengah dalam Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Mulai Oktober 2017, Anies bersama Sandiaga Uno, resmi akan memimpin
pemerintahan DKI Jakarta sebagai gubernur-wakil gubernur setelah memenangkan
Pilkada DKI 2017 dengan mengalahkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot
Saiful Hidayat dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.
Novel Baswedan beristrikan Rina Emilda.
Pasangan ini dikaruniai empat orang anak. Keluarga Novel dikenal sebagai
keluarga yang taat beribadah. Menurut tetangganya, Novel rajin menjalankan salat berjamaah di masjid,
terutama saat salat Subuh.
Setahun setelah lulus dari Akademi Kepolisian, Novel ditugaskan
di Polres Bengkulu. Pada tahun 2004, ia diangkat menjadi Kepala Satuan Reserse
Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Bengkulu dengan pangkat Komisaris. Ia bertugas
di Bengkulu sampai dengan tahun 2005.
Dari Bengkulu, Novel dipromosikan ke
Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), Jakarta. Di sini ia
ditempatkan di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), salah satu bagian yang
strategis dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Polri. Dengan reputasinya
sebagai polisi yang bersih dan berintegritas, Novel mendapat tugas sebagai
penyidik KPK pada tahun 2007, kemudian pada tahun 2014 secara resmi diangkat
menjadi penyidik tetap KPK.
B. Tak Menyerah
oleh Teror dan Kriminalisasi
Di sinilah Novel memulai perjuangan
serius dan kerasnya memberantas korupsi. Sebagai penyidik KPK, ia dihadapkan
pada kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan nama-nama besar dan terkenal
dalam kelembagaan dan perpolitikan nasional. Namun, novel tidak gentar; ia
lugas saja menjalakan tugas dan wewenangnya sebagai penyidik KPK.
Kelugasan dan sikap tanpa komprominya
sebagai penyidik KPK menghasilkan serangkaian prestasi gemilang. Bersama
timnya, Novel sukses menyeret para pelaku korupsi besar untuk menjalani
persidangan tipikor (tindak pidana korupsi) serta menjadikan mereka sebagai
terpidana yang harus menjalani hukuman kurungan dengan hidup di dalam penjara.
Nama-nama besar dan populer yang berhasil dipidanakan dan dipenjarakannya,
antara lain, Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi), Irjen Djoko Susilo (Kepala
Korps Lalu Lintas Polri), Muhammad Nazaruddin (Bendahara Umum Partai Demokrat),
dan Angelina Sondakh (anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat).
Menyidik kasus korupsi besar yang
pelakunya memiliki jabatan penting dan strategis bukanlah perkara gampang dan
sederhana. Itu merupakan tugas sangat berat dan berisiko besar. Menjadi
penyidik KPK konon sarat dengan teror, tetapi menyidik pelaku korupsi besar
benar-benar membawa risiko berat yang nyata.
Saat melakukan penyidikan terhadap
kasus korupsi simulator SIM dengan tersangka Djoko Susilo, Novel harus berkonfrontasi
keras dengan bekas institusinya sendiri, Polri. Ketika penyidikan itu benar-benar
ia lakukan bersama tim yang dipimpinnya, ia menerima risiko yang tidak ringan.
Akibat keberanian dan ketidakkompromiannya dalam menyidik kasus ini, Novel
mendapat serangan balik: pada Mei 2015 Novel ditangkap dengan tuduhan terlibat
dalam penembakan terhadap tersangka pencuri sarang burung walet saat masih
bertugas di Polres Bengkulu.
Sumber: news.liputan6.com |
Penangkapan Novel oleh Polri serta
merta mengundang protes keras dari masyarakat dan aktivis antikorupsi. Sebagaimana
yang mencuat di media massa, masyarakat dan aktivis antikorupsi menilai peristiwa
itu sebagai percobaan kriminalisasi terhadap Novel yang tengah gencar
mengungkap kasus korupsi Djoko Susilo di tubuh Polri. Publik menganggapnya
sebagai rekayasa belaka karena kasus sarang burung walet terjadi jauh pada
tahun 2004, tetapi tuduhan terhadap Novel dilakukan pada tahun 2015 justru saat
ia tengah menyidik kasus korupsi Djoko Susilo. Sidang etik Polri akhirnya
menyimpulkan bahwa Novel Baswedan bukanlah pelaku penembakan terhadap tersangka
pencuri burung walet seperti yang dituduhkan kepolisian.
Sejalan dengan belum berhentinya
korupsi di Indonesia, Novel Baswedan juga tak pernah menghentikan
langkah-langkah tegasnya dalam memberantas korupsi. Seusai kasus simulator SIM,
Novel kembali mendapat tugas berat untuk mengusut kasus korupsi KTP elektronik
(e-KTP) yang merugikan negara hingga lebih dari 2 triliun rupiah. Menyidik
kasus korupsi yang diduga kuat melibatkan seorang petinggi DPR dan banyak
anggota DPR dari berbagai fraksi (partai politik) ini penuh dengan risiko teror
dan ancaman.
Dan benar, saat pengungkapan kasusnya
baru menyeret dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, seorang pengusaha, dan
seorang anggota DPR, Novel Baswedan mengalami teror penyiraman air keras ke
wajahnya, yang menyebabkan sebagian wajah dan kedua bola matanya mengalami luka
serius hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit Singapura. Publik
umumnya menilai, teror ini terkait dengan upaya Novel menyidik dan mengungkap kasus
korupsi e-KTP hingga tuntas.
Teror dan ancaman sudah menjadi bagian
dari pekerjaan dan tugas Novel Baswedan. Selain pernah mengalami percobaan
kriminalisasi, Novel juga seringkali mengalami serangan fisik. Beberapa kali ia
ditabrak dengan kendaraan bermotor, tetapi tetap selamat. Saat ditanya tempo.co apakah keberaniannya akan berubah setelah
diserang air keras, Novel dengan tegas menjawab, "Insya Allah, tidak sama
sekali.” Perihal keberanian dalam menjalankan tugas, ia menandaskan, “Berani
itu tidak mengurangi umur, takut juga tidak menambah umur. Jadi, kita tidak
boleh menyerah. Jangan memilih takut karena Anda akan menjadi orang yang tidak
berguna.” (Tempo.co, 15 April 2017)
Korupsi di negeri ini memang hampir tak
pernah sepi terjadi. Hingga era reformasi saat ini pun korupsi yang semula
menjadi prioritas utama untuk dibasmi (bersama kolusi dan nepotisme), tetap
saja terjadi. Namun, untungnya, Indonesia tak pernah kekurangan pribadi-pribadi
berintegritas tinggi yang peduli dan gigih dalam melakukan upaya pemberantasan
korupsi. Dan Novel Baswedan adalah salah satu contoh konkret pribadi yang tak
kenal kata menyerah dalam menjalankan tugas memberantas korupsi.
Novel Baswedan tidak hanya masuk dalam jajaran penyidik
terbaik yang dimiliki KPK hingga saat ini, melainkan juga salah satu pejuang
pembasmi korupsi terbaik yang dimiliki Indonesia. Ia bukanlah sekadar aktivis
antikorupsi yang melakukan upaya pemberantasan korupsi lewat kampanye atau
opini verbal melalui berbagai forum dan media. Namun, ia adalah pejuang sejati
antikorupsi yang melakukan upaya pemberantasan korupsi melalui penyidikan
langsung terhadap kasus-kasus korupsi dengan tanpa pandang bulu dan tak kenal
kompromi melalui jantung lembaga pemberantasan korupsi yang bernama KPK.