Rabu, 01 November 2017

Proses dan Tata Cara Peradilan: Pemeriksaan Perkara dalam Sidang Pengadilan

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: http poskotanews.com

Tahapan berikut setelah penuntutan perkara oleh penuntut umum adalah pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan merupakan proses mengadili perkara yang dilakukan oleh lembaga peradilan (pengadilan) melalui sebuah persidangan yang melibatkan hakim (sebagai pemutus perkara), jaksa (penuntut perkara), terdakwa (pihak yang disangka melakukan tindak pidana), kuasa atau penasihat hukum terdakwa, dan panitera (petugas pembuat berita acara persidangan dan pencatat hasil persidangan) dengan tujuan membuat putusan yang seadil-adilnya bagi semua pihak yang tersangkut perkara (tindak pidana) yang tengah diadili atau disidangkan. Dalam pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, pihak yang diberi kewenangan untuk memimpin dan memutus perkara dalam proses persidangan perkara adalah hakim.
Tahap pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan diawali dengan pemeriksaan oleh pengadilan negeri terhadap berkas-berkas pelimpahan perkara yang disampaikan penuntut umum. Pemeriksaan oleh pengadilan negeri ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui apakah perkara tersebut masuk dalam wewenang pengadilan yang bersangkutan atau tidak. Jika perkara tersebut memang masuk dalam wewenang hukum pengadilan yang bersangkutan, maka pengadilan segera membentuk majelis hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Majelis hakim yang dibentuk beranggotakan paling sedikit tiga orang hakim, yang terdiri atas satu orang hakim ketua dan dua orang hakim anggota.
A. Pemanggilan Terdakwa dan Saksi
Selanjutnya, ditetapkan hari pelaksanaan sidang. Informasi mengenai hari pelaksanaan sidang akan diberitahukan oleh penuntut umum kepada terdakwa. Pemberitahuan ini dilakukan penuntut umum melalui sebuah surat panggilan kepada terdakwa untuk datang dan menjalani persidangan. Surat panggilan kepada terdakwa disampaikan ke alamat tempat tinggal terdakwa atau jika tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan ke tempat kediamannya yang terakhir. Jika terdakwa tidak berada di tempat tinggal atau di tempat kediamannya yang terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum meliputi tempat tinggal terdakwa atau tempat kediamannya yang terakhir. Namun, jika terdakwa berada dalam tahanan, surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara. Surat panggilan yang dimaksud harus memuat tanggal, hari, dan jam serta perkara yang didakwakan kepada terdakwa. Surat panggilan harus diterima oleh terdakwa selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dilaksanakan.
Selain melakukan pemanggilan terhadap terdakwa, penuntut umum juga melakukan hal yang sama terhadap para saksi. Pemanggilan terhadap para saksi juga dilakukan dengan surat. Surat panggilan untuk para saksi memuat tanggal, hari, dan jam sidang serta perkara yang akan diberi kesaksian. Surat panggilan harus diterima saksi paling lambat tiga hari sebelum sidang dilaksanakan.
B.  Acara Pemeriksaan
Menurut UU hukum acara pidana, pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan dilakukan dengan tiga acara pemeriksaan, yakni (1) acara pemeriksaan biasa, (2) acara pemeriksaan singkat, dan (3) acara pemeriksaan cepat. Penerapan atau pemberlakuan ketiga model acara pemeriksaan tersebut terutama dilakukan berdasarkan berat atau ringannya tindak pidana yang terjadi (dilakukan terdakwa), tinggi atau rendahnya ancaman hukuman yang akan diberikan, serta sulit atau mudahnya pembuktian dalam persidangan. Acara pemeriksaan biasa umumnya diberlakukan untuk perkara tindak pidana yang pembuktiannya rumit sehingga memerlukan kecermatan dan ketelitian tinggi serta ancaman hukumannya berupa penjara atau kurungan lima tahun ke atas. Adapun acara pemeriksaan singkat  dan acara pemeriksaan cepat umumnya diberlakukan untuk perkara tindak pidana yang proses pembuktiannya mudah dan sederhana serta ancaman hukumannya ringan (rata-rata penjara atau kurungan kurang dari satu tahun).
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang selama ini ada (terutama UU No. 8 Tahun 81 tentang Hukum Acara Pidana atau populer disebut KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), acara pemeriksaan biasa merupakan model acara pemeriksaan yang paling banyak mendapat porsi pengaturan. Di dalam UU Hukum Acara Pidana, misalnya, acara pemeriksaan biasa diatur dengan ketentuan-ketentuan yang jauh lebih luas, detail, dan mendalam dibandingkan dengan acara pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan cepat. Hal ini kiranya dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi hukum di negara kita bahwa dalam proses peradilan banyak ditangani perkara tindak pidana berat dan berbahaya sehingga, sebagai acara pemeriksaan untuk menangani perkara tindak pidana berat, acara pemeriksaan biasa dipandang perlu mendapat pengaturan lebih istimewa.
C.  Pembuktian
Bagian paling inti sekaligus paling penting dalam proses pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan adalah pembuktian. Proses ini akan menentukan nasib terdakwa serta kebenaran dan keadilan yang hendak diperjuangkan. Melalui proses ini, seorang terdakwa akan dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan. Jika hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah terdakwa memang terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum, terdakwa akan dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman. Namun, jika pembuktian menunjukkan hasil yang sebaliknya, maka terdakwa akan dibebaskan dari segala tuduhan dan hukuman.
Terkait dengan pembuktian, setidaknya terdapat empat sistem pembuktian yang berlaku atau digunakan dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Keempat sistem pembuktian yang dimaksud adalah conviction in time, conviction in raisonee, pembuktian menurut undang-undang secara positif, dan pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Berikut ini penjelasannya lebih lanjut.
·          Conviction in time adalah sistem pembuktian yang proses penentuan bersalah atau tidaknya terdakwa sepenuhnya didasarkan pada penilaian atas dasar keyakinan hakim. Hakim tidak terlalu terikat dengan alat-alat bukti. Hakim dapat memakai atau mengabaikan alat bukti yang tersedia di hadapannya. Alat bukti yang paling sering dimanfaatkannya adalah keterangan saksi dan pengakuan terdakwa; yang menurut keyakinannya, keduanya ia gunakan untuk memberi putusan.
·          Conviction in raisonee adalah sistem pembuktian yang proses penentuan bersalah atau tidaknya terdakwa didasarkan pada keyakinan hakim disertai dengan alasan yang jelas. Dalam sistem pembuktian conviction in time, hakim dapat dengan bebas memberi putusan semata-mata berdasarkan keyakinannya tanpa harus menjelaskan asal muasal munculnya keyakinan tersebut, tetapi dalam sistem conviction in raisonee keyakinan yang digunakan hakim untuk memberi putusan harus dapat dijelaskan. Hakim harus menguraikan dengan jelas alasan atau argumentasi yang melandasi keyakinannya dalam menjatuhkan putusan.
·          Pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah sistem pembuktian yang dilakukan sepenuhnya berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, tanpa disertai atau dicampuri keyakinan hakim. Jika berdasarkan alat bukti yang ditentukan undang-undang terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan, maka terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman, begitupun sebaliknya. Dalam sistem pembuktian ini, nurani (hakim) tidak disertakan dalam pengambilan putusan. Hakim (dianggap) seolah-olah tidak memiliki nurani dan hanya menjadi tenaga pelaksana dari undang-undang.
·          Pembuktian menurut undang-undang secara negatif adalah sistem pembuktian campuran atau gabungan antara conviction in raisonee dan pembuktian menurut undang-undang secara positif. Menurut sistem ini, pembuktian salah atau tidaknya terdakwa dilakukan menurut keyakinan hakim berdasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang berlaku.
Dari keempat sistem pembuktian tersebut, Indonesia menganut sistem yang terakhir, yakni pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Hal ini dengan jelas dapat kita tangkap dari ketentuan UU Hukum Acara Pidana Pasal 183, yang menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Jelas sekali –– menurut keten-tuan tersebut –– bahwa dalam menjatuhkan putusan (menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa), hakim tidak boleh melakukannya semata-mata dengan keyakinannya saja atau dengan alat bukti saja, melainkan harus dengan keyakinan dan alat bukti; lebih jelasnya dengan keyakinan yang muncul dari paling sedikit dua alat bukti yang sah.
Sistem pembuktian yang menggabungkan keyakinan hakim dan alat bukti dianggap lebih mampu menghasilkan kebenaran dan memenuhi rasa keadilan. Keyakinan hakim yang tumbuh dari pembeberan atau pengungkapan alat-alat bukti dalam persidangan dipandang akan menghasilkan putusan (vonis) yang lebih objektif dibandingkan dengan semata-mata hanya mengandalkan keyakinan hakim atau melulu mengandalkan pengungkapan alat-alat bukti. Dengan demikian, dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan umumnya dan dalam pembuktian khususnya, hakim dan alat bukti memiliki fungsi dan peranan yang sangat menentukan. Pentingnya fungsi dan peranan keduanya dapat kita rasakan dari pengaturan atas keduanya dalam undang-undang hukum acara pidana. Sebagaimana telah disinggung, dalam acara pemeriksaan biasa, majelis pengadil paling sedikit terdiri atas tiga orang hakim, sedangkan dalam upaya menumbuhkan dan membangun keyakinan hakim terhadap tindak pidana yang dilakukan terdakwa (benar atau tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana seperti yang dituduhkan) paling sedikit harus digunakan dua buah alat bukti. Menurut undang-undang hukum acara pidana, alat bukti yang dianggap sah dalam pemeriksaan perkara di pengadilan adalah sebagai berikut:
·          keterangan saksi,
·          keterangan ahli,
·          surat,
·          petunjuk, dan
·          keterangan terdakwa.
Dalam proses pembuktian, baik penuntut umum maupun terdakwa mendapat kesempatan untuk melakukan pembuktian. Dalam persidangan hakim akan memberikan waktu kepada penuntut umum untuk melakukan pembuktian dengan cara mengajukan alat-alat bukti yang dapat mendukung/memperkuat dakwaannya terhadap terdakwa. Di sisi lain, hakim juga akan memberikan kesempatan kepada terdakwa dan pembela/penasihat hukumnya untuk melakukan pembuktian dengan cara yang sama untuk menyanggah atau menolak dakwaan penuntut umum dalam upaya meringankan atau membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum. Oleh sebab itulah, dalam proses pembuktian perkara di pengadilan dikenal istilah pembuktian oleh penuntut umum dan pembuktian oleh terdakwa.
Dalam proses pembuktian, penuntut umum dan terdakwa bersama pembela/penasihat hukumnya akan menghadirkan alat-alat bukti dalam upaya mendukung argumentasinya masing-masing. Alat bukti yang diajukan penuntut umum biasanya dan terutama adalah keterangan saksi yang memberatkan (saksi a charge). Dalam hal ini, penuntut umum menghadirkan saksi yang kesaksian atau keterangan-keterangannya bersifat memperkuat dakwaan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa –– karena itu, disebut saksi memberatkan. Saksi memberatkan pertama yang dihadirkan biasanya adalah saksi korban. Alat bukti lain yang seringkali juga diajukan oleh penuntut umum adalah keterangan ahli, surat, dan barang-barang bukti tertentu. Sementara itu, alat bukti yang diajukan oleh terdakwa dan pembela/penasihat hukumnya terutama adalah keterangan saksi yang meringankan (saksi a de charge). Terdakwa bersama pembela/penasihat hukumnya juga dapat mengajukan alat bukti lain, seperti keterangan ahli, dokumen, dan benda-benda lain.
D. Pengajuan Tuntutan dan Pembelaan
Sebelum mengajukan tuntutan terhadap terdakwa, penuntut umum terlebih dahulu membacakan surat dakwaan. Adapun terhadap surat dakwaan penuntut umum, terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (keberatan) terhadap dakwaan tersebut. Eksepsi dapat diajukan (dibacakan) oleh terdakwa sendiri, oleh pembela/penasihat hukumnya, atau oleh keduanya secara bergantian. Baik pembacaan surat dakwaan oleh penuntut umum maupun penyampaian eksepsi oleh terdakwa atau pembela/penasihat hukumnya dilakukan pada awal proses persidangan.
Pengajuan tuntutan oleh penuntut umum serta pembelaan oleh terdakwa dilakukan setelah sidang pembuktian secara keseluruhan selesai digelar (sidang pembuktian terdiri atas pembuktian oleh penuntut umum, pembuktian oleh terdakwa bersama pembela/penasihat hukumnya, serta pemeriksaan terhadap terdakwa). Pengajuan tuntutan dilakukan penuntut umum dengan cara membacakan tuntutan (requisitoir) yang berisi tuntutan hukuman yang harus dijatuhkan kepada terdakwa akibat tindak pidana yang dilakukannya. Tuntutan yang diajukan penuntut umum disusun berdasarkan surat dakwaan dan pembuktian yang sudah disampaikan. Pembacaan tuntutan oleh penuntut umum segera disusul dengan pembelaan oleh terdakwa bersama pembela/penasihat hukumnya. Nota pembelaan (pleidoi) dapat disampaikan atau dibacakan oleh terdakwa sendiri, oleh pembela/penasihat hukumnya, atau oleh keduanya secara bergantian.
Setelah pengajuan tuntutan dan nota pembelaan, penuntut umum dan terdakwa berikut pembela/penasihat hukumnya diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan-tanggapannya. Hakim lebih dahulu mempersilakan penuntut umum untuk menyampaikan tanggapannya (tanggapan yang diajukan penuntut umum disebut replik). Hakim kemudian juga memberi kesempatan terdakwa dan pembela/penasihat hukumnya untuk menyampaikan tanggapannya pula (tanggapan yang diajukan terdakwa disebut duplik).
E.  Pengambilan dan Penyampaian Putusan
Pihak yang memiliki wewenang untuk membuat dan memberikan putusan atas perkara yang diperiksa dalam persidangan adalah hakim. Dalam melaksanakan wewenang ini hakim wajib memperhatikan dan mempertimbangkan proses pembuktian yang berlangsung dalam persidangan. Dalam memberikan putusan dan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa (vonis), seperti diatur dalam undang-undang hukum acara pidana, hakim harus mendasarkan keyakinannya pada alat-alat bukti (paling sedikit dua alat bukti) yang diajukan dalam proses pembuktian. Dengan kata lain, keyakinan hakim bahwa terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan oleh penuntut umum (serta kemudian menjatuhkan hukuman kepada terdakwa) harus tumbuh dan terbentuk dari pemahaman, penghayatan, dan pertimbangan yang matang terhadap fakta-fakta yang terungkap melalui proses pembuktian –– juga melalui pembelaan dan tanggapan-tanggapan.
Dalam pemeriksaan perkara melalui sidang pengadilan, putusan hakim merupakan putusan pengadilan atau putusan hakim adalah representasi putusan lembaga pengadilan tempat perkara disidangkan. Artinya, putusan pengadilan atas pemeriksaan perkara yang dilakukannya tidak lain adalah putusan yang diambil oleh hakim melalui proses pembuktian dalam persidangan yang diselenggarakan pengadilan yang bersangkutan. Dalam pada itu, menurut UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, semua pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan harus dilakukan terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 13 Ayat [1]). Oleh karena itu, putusan pengadilan (putusan hakim) hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (Ayat [2]) –– hal yang sama diatur pula dalam undang-undang hukum acara pidana (pasal 195). Jika ketentuan tersebut tidak dapat dipenuhi (sidang pemeriksaan perkara dan penyampaian putusan tidak dilakukan secara terbuka untuk umum), maka putusan yang dihasilkan oleh hakim (putusan pengadilan) dianggap batal demi hukum (Ayat [3]).
UU No. 48 Tahun 2009 juga mengatur teknis pengambilan putusan yang dilakukan oleh hakim. Menurut undang-undang ini, putusan hakim harus diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia (Pasal 14 Ayat [1]). Dalam sidang permusyawaratan tersebut, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang diperiksa serta (pertimbangan atau pendapat tersebut) akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan (Ayat [2]). Adapun jika dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (Ayat [3]).
Ketentuan mengenai pengambilan putusan pengadilan lebih spesifik dan detail dapat kita baca dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Terkait dengan permusyawarahan hakim dalam mengambil putusan, undang-undang ini memberi ketentuan bahwa musyawarah di antara para hakim untuk mengambil putusan harus didasarkan atas surat dakwaan (dari penuntut umum) dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pemeriksaan (pasal 182 ayat [4]). Beberapa ketentuan lain dari UU hukum acara pidana yang mengatur pengambilan putusan oleh hakim antara lain sebagai berikut.
·          Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis (hakim) merupakan hasil permufakatan bulat. Namun, jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: (1) putusan diambil dengan suara terbanyak; ( 2) jika ketentuan tersebut (pada butir (1) tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa (pasal 182 ayat [6]).
·          Pelaksanaan pengambilan putusan tersebut (seperti dimaksud butir a di atas) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus dan isi buku tersebut sifatnya rahasia (pasal 182 ayat [7]).
·          Putusan pengadilan dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga (hari dilakukannya pengambilan putusan) atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum dan terdakwa atau pembela/penasihat hukumnya (pasal 182 ayat [8]).
Putusan yang dibuat hakim tidaklah selalu bersifat pemidanaan terhadap terdakwa atau pembebasan terdakwa dari segala dakwaan. Bentuk putusan akan tergantung pada hasil permusyawaratan di antara para hakim yang diambil berdasarkan keyakinan yang timbul dari proses pembuktian. Terdapat tiga jenis bentuk putusan yang dapat dijatuhkan hakim dalam pemeriksaan perkara di pengadilan, yakni putusan pemidanaan, putusan bebas, dan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum. Berikut ini penjelasan dari ketiga bentuk putusan tersebut.
·          Putusan pemidanaan adalah putusan yang menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa sesuai dengan ancaman hukuman yang ditetapkan oleh pasal tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Putusan pemidanaan dijatuhkan jika berdasarkan proses pemeriksaan perkara dan pembuktian yang dilakukan, terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan.
·          Putusan bebas adalah putusan yang membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (vrij spraak). Putusan bebas lazim diberikan kepada terdakwa jika melalui pemeriksaan perkara dan proses pembuktian, terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan.

·          Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) adalah putusan yang membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum karena berdasarkan pemeriksaan perkara dan proses pembuktian, terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut sesungguhnya tidak tergolong tindak pidana. Putusan ini sebenarnya mirip dengan putusan bebas, tetapi perbedaannya, jika dalam putusan bebas terdakwa sama sekali dibebaskan dari segala tuntutan hukum karena terbukti tidak melakukan tindak pidana, maka dalam putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum terdakwa terbukti melakukan suatu perbuatan, tetapi perbuatan tersebut sebenarnya bukan merupakan tindak pidana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar