Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: http poskotanews.com |
Tahapan berikut setelah
penuntutan perkara oleh penuntut umum adalah pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan. Pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan merupakan proses mengadili
perkara yang dilakukan oleh lembaga peradilan (pengadilan) melalui sebuah
persidangan yang melibatkan hakim (sebagai pemutus perkara), jaksa (penuntut
perkara), terdakwa (pihak yang disangka melakukan tindak pidana), kuasa atau
penasihat hukum terdakwa, dan panitera (petugas pembuat berita acara
persidangan dan pencatat hasil persidangan) dengan tujuan membuat putusan yang
seadil-adilnya bagi semua pihak yang tersangkut perkara (tindak pidana) yang
tengah diadili atau disidangkan. Dalam pemeriksaan perkara di sidang
pengadilan, pihak yang diberi kewenangan untuk memimpin dan memutus perkara
dalam proses persidangan perkara adalah hakim.
Tahap pemeriksaan perkara dalam
sidang pengadilan diawali dengan pemeriksaan oleh pengadilan negeri terhadap
berkas-berkas pelimpahan perkara yang disampaikan penuntut umum. Pemeriksaan
oleh pengadilan negeri ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui apakah
perkara tersebut masuk dalam wewenang pengadilan yang bersangkutan atau tidak.
Jika perkara tersebut memang masuk dalam wewenang hukum pengadilan yang
bersangkutan, maka pengadilan segera membentuk majelis hakim untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tersebut. Majelis hakim yang dibentuk
beranggotakan paling sedikit tiga orang hakim, yang terdiri atas satu orang
hakim ketua dan dua orang hakim anggota.
A. Pemanggilan Terdakwa dan Saksi
Selanjutnya, ditetapkan hari
pelaksanaan sidang. Informasi mengenai hari pelaksanaan sidang akan
diberitahukan oleh penuntut umum kepada terdakwa. Pemberitahuan ini dilakukan penuntut
umum melalui sebuah surat panggilan kepada terdakwa untuk datang dan menjalani
persidangan. Surat panggilan kepada terdakwa disampaikan ke alamat tempat
tinggal terdakwa atau jika tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan ke
tempat kediamannya yang terakhir. Jika terdakwa tidak berada di tempat tinggal
atau di tempat kediamannya yang terakhir, surat panggilan disampaikan melalui
kepala desa yang berdaerah hukum meliputi tempat tinggal terdakwa atau tempat
kediamannya yang terakhir. Namun, jika terdakwa berada dalam tahanan, surat
panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara. Surat
panggilan yang dimaksud harus memuat tanggal, hari, dan jam serta perkara yang
didakwakan kepada terdakwa. Surat panggilan harus diterima oleh terdakwa
selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dilaksanakan.
Selain melakukan pemanggilan
terhadap terdakwa, penuntut umum juga melakukan hal yang sama terhadap para
saksi. Pemanggilan terhadap para saksi juga dilakukan dengan surat. Surat
panggilan untuk para saksi memuat tanggal, hari, dan jam sidang serta perkara
yang akan diberi kesaksian. Surat panggilan harus diterima saksi paling lambat
tiga hari sebelum sidang dilaksanakan.
B. Acara Pemeriksaan
Menurut UU hukum acara pidana,
pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan dilakukan dengan tiga acara
pemeriksaan, yakni (1) acara pemeriksaan biasa, (2) acara pemeriksaan
singkat, dan (3) acara pemeriksaan cepat. Penerapan atau
pemberlakuan ketiga model acara pemeriksaan tersebut terutama dilakukan berdasarkan
berat atau ringannya tindak pidana yang terjadi (dilakukan terdakwa), tinggi
atau rendahnya ancaman hukuman yang akan diberikan, serta sulit atau mudahnya
pembuktian dalam persidangan. Acara pemeriksaan biasa umumnya diberlakukan
untuk perkara tindak pidana yang pembuktiannya rumit sehingga memerlukan kecermatan
dan ketelitian tinggi serta ancaman hukumannya berupa penjara atau kurungan
lima tahun ke atas. Adapun acara pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan cepat umumnya
diberlakukan untuk perkara tindak pidana yang proses pembuktiannya mudah dan
sederhana serta ancaman hukumannya ringan (rata-rata penjara atau kurungan
kurang dari satu tahun).
Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang selama ini ada (terutama UU No. 8 Tahun 81 tentang Hukum
Acara Pidana atau populer disebut KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana), acara pemeriksaan biasa merupakan model acara pemeriksaan yang paling
banyak mendapat porsi pengaturan. Di dalam UU Hukum Acara Pidana, misalnya,
acara pemeriksaan biasa diatur dengan ketentuan-ketentuan yang jauh lebih luas,
detail, dan mendalam dibandingkan dengan acara pemeriksaan singkat dan acara
pemeriksaan cepat. Hal ini kiranya dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi
hukum di negara kita bahwa dalam proses peradilan banyak ditangani perkara
tindak pidana berat dan berbahaya sehingga, sebagai acara pemeriksaan untuk
menangani perkara tindak pidana berat, acara pemeriksaan biasa dipandang perlu
mendapat pengaturan lebih istimewa.
C. Pembuktian
Bagian paling inti sekaligus
paling penting dalam proses pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan adalah pembuktian.
Proses ini akan menentukan nasib terdakwa serta kebenaran dan keadilan yang
hendak diperjuangkan. Melalui proses ini, seorang terdakwa akan dapat
dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan melakukan tindak pidana sebagaimana yang
didakwakan. Jika hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah terdakwa memang
terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut
umum, terdakwa akan dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman. Namun, jika
pembuktian menunjukkan hasil yang sebaliknya, maka terdakwa akan dibebaskan dari
segala tuduhan dan hukuman.
Terkait dengan pembuktian,
setidaknya terdapat empat sistem pembuktian yang berlaku atau digunakan dalam proses
pemeriksaan perkara di pengadilan. Keempat sistem pembuktian yang dimaksud
adalah conviction in time, conviction in raisonee, pembuktian
menurut undang-undang secara positif, dan pembuktian menurut undang-undang
secara negatif. Berikut ini penjelasannya lebih lanjut.
·
Conviction in time adalah
sistem pembuktian yang proses penentuan bersalah atau tidaknya terdakwa
sepenuhnya didasarkan pada penilaian atas dasar keyakinan hakim. Hakim tidak
terlalu terikat dengan alat-alat bukti. Hakim dapat memakai atau mengabaikan
alat bukti yang tersedia di hadapannya. Alat bukti yang paling sering
dimanfaatkannya adalah keterangan saksi dan pengakuan terdakwa; yang menurut
keyakinannya, keduanya ia gunakan untuk memberi putusan.
·
Conviction in raisonee adalah
sistem pembuktian yang proses penentuan bersalah atau tidaknya terdakwa
didasarkan pada keyakinan hakim disertai dengan alasan yang jelas. Dalam sistem
pembuktian conviction in time, hakim dapat dengan bebas memberi putusan
semata-mata berdasarkan keyakinannya tanpa harus menjelaskan asal muasal
munculnya keyakinan tersebut, tetapi dalam sistem conviction in raisonee keyakinan
yang digunakan hakim untuk memberi putusan harus dapat dijelaskan. Hakim harus
menguraikan dengan jelas alasan atau argumentasi yang melandasi keyakinannya
dalam menjatuhkan putusan.
·
Pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah
sistem pembuktian yang dilakukan sepenuhnya berdasarkan alat-alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang, tanpa disertai atau dicampuri keyakinan hakim.
Jika berdasarkan alat bukti yang ditentukan undang-undang terdakwa terbukti
melakukan tindak pidana yang didakwakan, maka terdakwa dinyatakan bersalah dan
dijatuhi hukuman, begitupun sebaliknya. Dalam sistem pembuktian ini, nurani
(hakim) tidak disertakan dalam pengambilan putusan. Hakim (dianggap)
seolah-olah tidak memiliki nurani dan hanya menjadi tenaga pelaksana dari
undang-undang.
·
Pembuktian menurut undang-undang secara negatif adalah sistem
pembuktian campuran atau gabungan antara conviction in raisonee dan
pembuktian menurut undang-undang secara positif. Menurut sistem ini, pembuktian
salah atau tidaknya terdakwa dilakukan menurut keyakinan hakim berdasarkan pada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang berlaku.
Dari keempat sistem pembuktian
tersebut, Indonesia menganut sistem yang terakhir, yakni pembuktian menurut
undang-undang secara negatif. Hal ini dengan jelas dapat kita tangkap dari
ketentuan UU Hukum Acara Pidana Pasal 183, yang menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Jelas
sekali –– menurut keten-tuan tersebut –– bahwa dalam menjatuhkan putusan (menentukan
bersalah atau tidaknya terdakwa), hakim tidak boleh melakukannya semata-mata
dengan keyakinannya saja atau dengan alat bukti saja, melainkan harus dengan
keyakinan dan alat bukti; lebih jelasnya dengan keyakinan yang muncul dari
paling sedikit dua alat bukti yang sah.
Sistem pembuktian yang
menggabungkan keyakinan hakim dan alat bukti dianggap lebih mampu menghasilkan
kebenaran dan memenuhi rasa keadilan. Keyakinan hakim yang tumbuh dari
pembeberan atau pengungkapan alat-alat bukti dalam persidangan dipandang akan
menghasilkan putusan (vonis) yang lebih objektif dibandingkan dengan
semata-mata hanya mengandalkan keyakinan hakim atau melulu mengandalkan pengungkapan
alat-alat bukti. Dengan demikian, dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan
umumnya dan dalam pembuktian khususnya, hakim dan alat bukti memiliki fungsi
dan peranan yang sangat menentukan. Pentingnya fungsi dan peranan keduanya
dapat kita rasakan dari pengaturan atas keduanya dalam undang-undang hukum
acara pidana. Sebagaimana telah disinggung, dalam acara pemeriksaan biasa,
majelis pengadil paling sedikit terdiri atas tiga orang hakim, sedangkan dalam upaya
menumbuhkan dan membangun keyakinan hakim terhadap tindak pidana yang dilakukan
terdakwa (benar atau tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana seperti yang
dituduhkan) paling sedikit harus digunakan dua buah alat bukti. Menurut undang-undang
hukum acara pidana, alat bukti yang dianggap sah dalam pemeriksaan perkara di
pengadilan adalah sebagai berikut:
·
keterangan saksi,
·
keterangan ahli,
·
surat,
·
petunjuk, dan
·
keterangan terdakwa.
Dalam proses pembuktian, baik penuntut umum maupun terdakwa
mendapat kesempatan untuk melakukan pembuktian. Dalam persidangan hakim akan
memberikan waktu kepada penuntut umum untuk melakukan pembuktian dengan cara
mengajukan alat-alat bukti yang dapat mendukung/memperkuat dakwaannya terhadap
terdakwa. Di sisi lain, hakim juga akan memberikan kesempatan kepada terdakwa
dan pembela/penasihat hukumnya untuk melakukan pembuktian dengan cara yang sama
untuk menyanggah atau menolak dakwaan penuntut umum dalam upaya meringankan
atau membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum. Oleh sebab itulah, dalam proses
pembuktian perkara di pengadilan dikenal istilah pembuktian oleh penuntut umum
dan pembuktian oleh terdakwa.
Dalam proses pembuktian,
penuntut umum dan terdakwa bersama pembela/penasihat hukumnya akan menghadirkan
alat-alat bukti dalam upaya mendukung argumentasinya masing-masing. Alat bukti
yang diajukan penuntut umum biasanya dan terutama adalah keterangan saksi yang
memberatkan (saksi a charge). Dalam hal ini, penuntut umum menghadirkan
saksi yang kesaksian atau keterangan-keterangannya bersifat memperkuat dakwaan
tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa –– karena itu, disebut saksi
memberatkan. Saksi memberatkan pertama yang dihadirkan biasanya adalah
saksi korban. Alat bukti lain yang seringkali juga diajukan oleh penuntut umum
adalah keterangan ahli, surat, dan barang-barang bukti tertentu. Sementara itu,
alat bukti yang diajukan oleh terdakwa dan pembela/penasihat hukumnya terutama
adalah keterangan saksi yang meringankan (saksi a de charge). Terdakwa
bersama pembela/penasihat hukumnya juga dapat mengajukan alat bukti lain,
seperti keterangan ahli, dokumen, dan benda-benda lain.
D. Pengajuan Tuntutan dan Pembelaan
Sebelum mengajukan tuntutan
terhadap terdakwa, penuntut umum terlebih dahulu membacakan surat dakwaan.
Adapun terhadap surat dakwaan penuntut umum, terdakwa diberi kesempatan untuk
mengajukan eksepsi (keberatan) terhadap dakwaan tersebut. Eksepsi dapat diajukan
(dibacakan) oleh terdakwa sendiri, oleh pembela/penasihat hukumnya, atau oleh
keduanya secara bergantian. Baik pembacaan surat dakwaan oleh penuntut umum
maupun penyampaian eksepsi oleh terdakwa atau pembela/penasihat hukumnya
dilakukan pada awal proses persidangan.
Pengajuan tuntutan oleh
penuntut umum serta pembelaan oleh terdakwa dilakukan setelah sidang pembuktian
secara keseluruhan selesai digelar (sidang pembuktian terdiri atas pembuktian
oleh penuntut umum, pembuktian oleh terdakwa bersama pembela/penasihat hukumnya,
serta pemeriksaan terhadap terdakwa). Pengajuan tuntutan dilakukan penuntut
umum dengan cara membacakan tuntutan (requisitoir) yang berisi tuntutan
hukuman yang harus dijatuhkan kepada terdakwa akibat tindak pidana yang
dilakukannya. Tuntutan yang diajukan penuntut umum disusun berdasarkan surat
dakwaan dan pembuktian yang sudah disampaikan. Pembacaan tuntutan oleh penuntut
umum segera disusul dengan pembelaan oleh terdakwa bersama pembela/penasihat
hukumnya. Nota pembelaan (pleidoi) dapat disampaikan atau dibacakan oleh
terdakwa sendiri, oleh pembela/penasihat hukumnya, atau oleh keduanya secara
bergantian.
Setelah pengajuan tuntutan dan
nota pembelaan, penuntut umum dan terdakwa berikut pembela/penasihat hukumnya
diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan-tanggapannya. Hakim lebih dahulu
mempersilakan penuntut umum untuk menyampaikan tanggapannya (tanggapan yang
diajukan penuntut umum disebut replik). Hakim kemudian juga memberi
kesempatan terdakwa dan pembela/penasihat hukumnya untuk menyampaikan
tanggapannya pula (tanggapan yang diajukan terdakwa disebut duplik).
E. Pengambilan dan Penyampaian Putusan
Pihak yang memiliki wewenang
untuk membuat dan memberikan putusan atas perkara yang diperiksa dalam
persidangan adalah hakim. Dalam melaksanakan wewenang ini hakim wajib
memperhatikan dan mempertimbangkan proses pembuktian yang berlangsung dalam
persidangan. Dalam memberikan putusan dan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa
(vonis), seperti diatur dalam undang-undang hukum acara pidana, hakim harus
mendasarkan keyakinannya pada alat-alat bukti (paling sedikit dua alat bukti)
yang diajukan dalam proses pembuktian. Dengan kata lain, keyakinan hakim bahwa
terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan oleh
penuntut umum (serta kemudian menjatuhkan hukuman kepada terdakwa) harus tumbuh
dan terbentuk dari pemahaman, penghayatan, dan pertimbangan yang matang terhadap
fakta-fakta yang terungkap melalui proses pembuktian –– juga melalui pembelaan
dan tanggapan-tanggapan.
Dalam pemeriksaan perkara
melalui sidang pengadilan, putusan hakim merupakan putusan
pengadilan atau putusan hakim adalah representasi putusan lembaga pengadilan
tempat perkara disidangkan. Artinya, putusan pengadilan atas pemeriksaan
perkara yang dilakukannya tidak lain adalah putusan yang diambil oleh hakim
melalui proses pembuktian dalam persidangan yang diselenggarakan pengadilan
yang bersangkutan. Dalam pada itu, menurut UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, semua pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan harus dilakukan
terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 13 Ayat [1]).
Oleh karena itu, putusan pengadilan (putusan hakim) hanya sah dan mempunyai
kekuatan hukum jika diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (Ayat
[2]) –– hal yang sama diatur pula dalam undang-undang hukum acara pidana (pasal
195). Jika ketentuan tersebut tidak dapat dipenuhi (sidang pemeriksaan perkara
dan penyampaian putusan tidak dilakukan secara terbuka untuk umum), maka
putusan yang dihasilkan oleh hakim (putusan pengadilan) dianggap batal demi
hukum (Ayat [3]).
UU No. 48 Tahun 2009 juga
mengatur teknis pengambilan putusan yang dilakukan oleh hakim. Menurut
undang-undang ini, putusan hakim harus diambil berdasarkan sidang permusyawaratan
hakim yang bersifat rahasia (Pasal 14 Ayat [1]). Dalam sidang permusyawaratan
tersebut, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis
terhadap perkara yang diperiksa serta (pertimbangan atau pendapat tersebut)
akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan (Ayat [2]). Adapun jika
dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim
yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (Ayat [3]).
Ketentuan mengenai pengambilan
putusan pengadilan lebih spesifik dan detail dapat kita baca dalam UU No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Terkait dengan permusyawarahan hakim
dalam mengambil putusan, undang-undang ini memberi ketentuan bahwa musyawarah
di antara para hakim untuk mengambil putusan harus didasarkan atas surat
dakwaan (dari penuntut umum) dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang
pemeriksaan (pasal 182 ayat [4]). Beberapa ketentuan lain dari UU hukum acara
pidana yang mengatur pengambilan putusan oleh hakim antara lain sebagai
berikut.
·
Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis (hakim) merupakan
hasil permufakatan bulat. Namun, jika hal itu setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
(1) putusan diambil dengan suara terbanyak; ( 2) jika ketentuan tersebut (pada
butir (1) tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih adalah pendapat
hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa (pasal 182 ayat [6]).
·
Pelaksanaan pengambilan putusan tersebut (seperti dimaksud butir a
di atas) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus dan isi
buku tersebut sifatnya rahasia (pasal 182 ayat [7]).
·
Putusan pengadilan dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu
juga (hari dilakukannya pengambilan putusan) atau pada hari lain yang
sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum dan terdakwa atau
pembela/penasihat hukumnya (pasal 182 ayat [8]).
Putusan
yang dibuat hakim tidaklah selalu bersifat pemidanaan terhadap terdakwa atau
pembebasan terdakwa dari segala dakwaan. Bentuk putusan akan tergantung pada
hasil permusyawaratan di antara para hakim yang diambil berdasarkan keyakinan yang
timbul dari proses pembuktian. Terdapat tiga jenis bentuk putusan yang dapat
dijatuhkan hakim dalam pemeriksaan perkara di pengadilan, yakni putusan
pemidanaan, putusan bebas, dan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum.
Berikut ini penjelasan dari ketiga bentuk putusan tersebut.
·
Putusan pemidanaan adalah putusan yang menjatuhkan hukuman pidana
kepada terdakwa sesuai dengan ancaman hukuman yang ditetapkan oleh pasal tindak
pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Putusan pemidanaan dijatuhkan jika
berdasarkan proses pemeriksaan perkara dan pembuktian yang dilakukan, terdakwa
secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan.
·
Putusan bebas adalah putusan yang membebaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum (vrij spraak). Putusan bebas lazim diberikan kepada
terdakwa jika melalui pemeriksaan perkara dan proses pembuktian, terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana seperti yang
didakwakan.
·
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van recht
vervolging) adalah putusan yang membebaskan terdakwa dari segala tuntutan
hukum karena berdasarkan pemeriksaan perkara dan proses pembuktian, terdakwa
terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan, tetapi perbuatan
tersebut sesungguhnya tidak tergolong tindak pidana. Putusan ini sebenarnya
mirip dengan putusan bebas, tetapi perbedaannya, jika dalam putusan bebas
terdakwa sama sekali dibebaskan dari segala tuntutan hukum karena terbukti
tidak melakukan tindak pidana, maka dalam putusan pelepasan dari segala
tuntutan hukum terdakwa terbukti melakukan suatu perbuatan, tetapi perbuatan
tersebut sebenarnya bukan merupakan tindak pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar