Oleh Pusat Asesmen dan Pembelajaran, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
Kamis, 19 November 2020
Asesmen Diagnosis Berkala
Rabu, 18 November 2020
Dampak Psikologis dan Akademis Pembelajaran Daring pada Siswa
Oleh Akhmad Zamroni
Belajar jarak jauh secara online (Sumber: Fatih School Aceh & https://kaltim.prokal.co)
Pandemi
corona virus desease 2019 (Covid-19) yang melanda Indonesia sejak
awal Maret 2020 lalu menimbulkan dampak negatif pada kehidupan masyarakat
umumnya dan para siswa sekolah khususnya. Aktivitas pembelajaran secara tatap
muka, normal, dan offline (konvensional) dihentikan dan sebagai
gantinya pembelajaran dilakukan secara
jarak jauh dengan model online (daring). Hal ini membawa implikasi berantai
yang berat tidak hanya pada aktivitas pembelajaran siswa dan sekolah, melainkan
juga pada etos dan disiplin belajar siswa serta pada beban tambahan pekerjaan
dan biaya yang ditanggung orang tua.
Meskipun
terlihat canggih dan prestisius, pembelajaran secara online dengan smartphone terbukti kurang efektif dan tidak optimal.
Penyerapan ilmu melalui pendekatan saintifik untuk mencapai/meraih empat
kompetensi yang diamanatkan Kurikulum 2013 (kompetensi pengetahuan, kompetensi sikap
sosial, kompetensi sikap spiritual, dan kompetensi keterampilan) jauh dari
ekspektasi yang dicanangkan. Alih-alih meraih empat kompetensi, selain
penyampaian dan penguasaan materi jauh dari target, pembelajaran secara online
ternyata justru menimbulkan dampak tidak menguntungkan pada emosi dan
psikis siswa, selain juga menimbulkan beban baru yang berat pada orang tua.
Waktu
luang siswa di rumah yang sepintas menjadi jauh lebih banyak dibandingkan
dengan saat berlangsungnya pembelajaran normal (tatap muka) umumnya tidak
membuat siswa merasa lebih enjoy dan gembira, melainkan justru lebih sering
merasa jenuh dan bahkan stres. Hal ini terjadi karena tugas yang diberikan guru
dan sekolah menjadi jauh lebih banyak dan berat dibandingkan sebelumnya, pengerjaan
tugas hampir sepenuhnya dilakukan secara mandiri tanpa pendampingan dan
pemfasilitasan oleh guru, serta pengerjaannya pun dilakukan hanya berkutat di
rumah selama berbulan-bulan tanpa berinteraksi langsung dengan teman dan guru,
sementara di sisi lain penyampaian materi pelajaran oleh guru sangat minim dilakukan
sehingga siswa tidak mengalami transfer
of knowledges and skills yang semestinya.
Secara
psikologis, hal itu menyebabkan siswa menjadi tertekan dan “menderita”.
Akibatnya, mereka kemudian menjadi sangat enggan (malas) untuk belajar dan
mengerjakan tugas dari sekolah dengan konsekuensi tugas-tugas yang terbengkalai
akhirnya dikerjakan dan diselesaikan orang tua. Adapun secara akademis, siswa
menjadi lebih “bodoh” dan tertinggal karena transfer
of knowledges and skills melalui
pembelajaran dengan pendekatan saintifik tidak berjalan normal. Terhadap dampak
yang kedua ini, para orang tua tidak dapat berbuat banyak selain
mengembalikannya kepada guru dan sekolah sebagai pihak yang paling bertanggung
jawab.
Pangkal
semua problematikanya adalah pandemi Covid-19 tidak kunjung dapat diatasi
sehingga kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan guru dan sekolah. Apa yang
terjadi di dunai pendidikan Indonesia itu tampaknya juga terjadi di hampir
semua negara lain di dunia. Selama pandemi Covid-19 belum berakhir dan
pembelajaran tetap berlangsung secara online,
sudah hampir dapat dipastikan bahwa kita kehilangan waktu sekian tahun untuk
menjalankan aktivitas pendidikan secara normal, baik, dan benar sehingga selama
itu pula para siswa sekolah mengalami stagnasi kompetensi serta kemandekan perkembangan
akademis dan psikologis –– jika tidak dapat dikatakan mengalami
kemunduran yang memprihatinkan.
Hal
yang perlu dilakukan adalah memikirkan dengan serius untuk menebus dan
memulihkan kembali kompetensi serta perkembangan akademis dan psikologis para
siswa dengan pendidikan yang tepat dan berdaya guna pada waktu-waktu lain yang
akan datang setelah pandemi Covid-19 berakhir dan kehidupan kembali normal.
Namun, kapan pandemi Covid-19 dapat diatasi serta kehidupan sosial dan
aktivitas akademik sekolah dapat berjalan normal kembali?
Implementasi Kegiatan Asesmen pada Awal Pembelajaran
Oleh Akhmad Zamroni
Pada
tahun 2021 mendatang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Kemendikbud RI)
akan menyelenggarakan asesmen nasional (AN) sebagai pengganti ujian nasional
(UN). Menurut rencana, asesmen nasional akan digelar pada bulan Maret hingga
Agustus 2021. Kegiatan ini akan diadakan dengan tiga instrumen, yakni asesmen
kompetensi minimum (AKM), survei karakter (SK), dan survei lingkungan belajar.
Sebagaimana
tertuang dalam dokumen dan wacana pengenalan program asesmen nasional (AN) yang
dikeluarkan Kemendikbud RI, asesmen nasional diselenggarakan dengan tiga tujuan
utama. Ketiga tujuan yang dimaksud sebagai berikut: (1) mendorong guru untuk
mengembangkan kompetensi kognitif yang mendasar sekaligus karakter murid secara
utuh; (2) menunjukkan apa yang seharusnya menjadi tujuan utama sekolah, yakni
pengembangan kompetensi dan karakter murid; serta (3) memberi gambaran tentang
karakteristik esensial sekolah yang efektif untuk mencapai tujuan tersebut.
Hampir
dapat dipastikan, asesmen nasional akan diselenggarakan di tengah belum
berakhirnya pandemi Covid-19 di Indonesia dan di dunia . Oleh sebab itu,
implementasi asesmen nasional oleh pemerintah, sekolah, dan guru harus
dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi siswa akibat terdampak oleh pandemi
Covid-19. Seperti kita ketahui, pembelajaran online (daring) yang
diberlakukan di Indonesia akibat pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak yang
kurang menguntungkan pada aspek akademis dan psikologis siswa sehingga hajatan
asesmen nasional yang akan digelar tahun 2021 mendatang harus dilakukan dengan
mempertimbangkan secara saksama kondisi para siswa.
Untuk
memberikan gambaran mengenai pelaksanaan asesmen nasional di tengah pandemi
Covid-19, berikut ini dipaparkan infografis perihal kegiatan asesmen pada awal
pembelajaran yang dikeluarkan oleh Pusat Asesmen dan Pembelajaran, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Sumber: https://pusmenjar.kemdikbud.go.id |
Beberapa Hal yang Dilakukan Guru dalam Kegiatan Asesmen
Oleh Akhmad Zamroni
Sejak akhir taun 2019 lalu,
pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah
menggodok asesmen nasional (AN) sebagai program yang akan segera dilaksanakan
untuk menggantikan ujian nasional (UN). Asesmen nasional merupakan program
penilaian terhadap mutu setiap sekolah, madrasah, dan program kesetaraan pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah. Mutu satuan pendidikan (sekolah) dinilai
berdasarkan hasil belajar murid yang mendasar yang meliputi literasi, numerasi,
dan karakter serta kualitas proses belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan
yang mendukung pembelajaran.
Dalam program asesmen nasional,
guru masih tetap memiliki peranan yang cukup penting. Aktivitas yang dilakukan
guru dalam asesmen, antara lain, meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan, dan
tindak lanjut. Tiga rangkaian kegiatan ini dilakukan guru dalam aspek
nonkognitif dan kognitif. Berikut ini dipaparkan beberapa hal yang dilakukan
guru dalam kegiatan asesmen melalui infografis.
Sumber: https://pusmenjar.kemdikbud.go.id |
Senin, 16 November 2020
Mulai Tahun 2021, Kemendikbud Akan Menyelenggarakan Asesmen Nasional (AN)
Ilustrasi pengertian Asesmen nasional (AN) (Sumber: Balitbang, Kemendikbud) |
Pada tahun 2021 mendatang, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menyelenggarakan asesmen nasional
yang terdiri atas asesmen kompetensi minimum (AKM), survei karakter (SK), dan
survei lingkungan belajar (SLB). Asesmen tidak dilakukan berdasarkan mata
pelajaran atau penguasaan materi kurikulum seperti yang selama ini diterapkan
dalam ujian nasional (UN), melainkan melakukan pemetaan terhadap dua kompetensi
minimum siswa, yakni dalam literasi dan numerasi.
Seperti diketahui, salah satu
indikator yang menjadi acuan di Kemendikbud adalah Programme for International
Student Assessment (PISA). Sebagai metode penilaian internasional, PISA merupakan
indikator untuk mengukur kompetensi siswa Indonesia di tingkat global.
Organisasi untuk Kerja Sama
Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, peringkat nilai PISA Indonesia berdasarkan
survei tahun 2018 adalah Membaca (peringkat 72 dari 77 negara), Matematika
(Peringkat 72 dari 78 negara), dan Sains
(peringkat 70 dari 78 negara). Nilai PISA Indonesia juga cenderung stagnan
dalam 10-15 tahun terakhir. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan
penggantian Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), yang
nantinya akan berfokus pada literasi, numerasi, dan pendidikan karakter.
“Literasi
di sini bukan hanya kemampuan membaca, tetapi kemampuan menganalisis suatu
bacaan, dan memahami konsep di balik tulisan tersebut. Sedangkan kompetensi
numerasi berarti kemampuan menganalisis menggunakan angka. Dua hal ini yang
akan menyederhanakan asesmen kompetensi minimum yang akan dimulai tahun 2021.
Jadi, bukan berdasarkan mata pelajaran dan penguasaan materi. Ini kompetensi
minimum atau kompetensi dasar yang dibutuhkan murid-murid untuk bisa belajar,” tutur
Mendikbud, Nadiem Makarim.
Persiapan
Apa sajakah hal-hal yang harus
disiapkan guru dan tenaga kependidikan terkait upaya untuk memfokuskan literasi
dan numerasi?
“Yang
paling penting, menurut saya, adalah cara berpikir yang tidak terikat pada satu
pola atau satu disiplin; ini yang paling penting. Karena fokus pada literasi,
numerasi, karakter ini sebenarnya ujung-ujungnya adalah interdisipliner, dan
itulah arah pendidikan pada saat ini dan realitas dunia yang kita hadapi,” demikian
dikatakan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud,
Iwan Syahril dalam wawancara telekonferensi, Rabu (3/6/2020).
“Banyak sekali inovasi terjadi
karena lintas disiplin saling ngobrol,
saling kemudian melakukan project dan nanti ke depannya juga kita tidak bisa survive dengan menguasai disiplin,
konten. Kita harus menguasai fleksibilitas secara kognitif dan soft skills sehingga kita bisa bergerak dari satu bidang
ke bidang lain,” tambahnya.
Ilustrasi instrumen Asesmen Nasional (Sumber: Balitbang, Kemendikbud) |
Iwan mengungkapkan, visi
Asesmen Kompetensi Minimum merupakan upaya menjawab tantangan zaman dan
mempersiapkan peserta didik menghadapi masa depan.
“Di masa depan tidak bisa kita
hanya, bahkan masa sekarang juga ya, bekerja hanya pada satu bidang. Kita nanti
bidangnya sudah enggak ini lagi nih,
diambil sama teknologi dan lain-lain, lebih efisien. Ternyata ilmu kita sudah
tidak relevan lagi sehingga harus pindah atau mencari keterampilan lain dan
sebagainya,” urai Iwan.
Pada
masa depan, para lulusan sekolah (siswa) diharapkan dapat memiliki keterampilan
yang multibidang serta mampu berpindah-pindah bidang karena banyak bidang
mengalami die out akibat digantikan oleh teknologi
“Prediksinya
‘kan ke depan itu siswa yang tamat tahun sekarang bisa sampai pindah 4-5 bidang
pekerjaannya di masa depan. Betul-betul pindah bidang karena bidangnya sudah die out, teknologi sudah bisa menggantikan,” tandas
Iwan.
(Sumber:
http://pgdikmen.kemdikbud.go.id/read-news/bersiap-menuju-asesmen-kompetensi-minimum;
dengan penyesuaian seperlunya)
Penjelasan Mendikbud Soal Kurikulum Darurat
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim (Sumber: https://mediaindonesia.com) |
Banyak
kendala yang dihadapi guru, orang tua, dan anak selama pembelajaran jarak jauh
(PJJ) pada masa pandemi Covid-19 (corona
virus desease 2019).
Kendala
yang dialami guru adalah kesulitan dalam mengelola PJJ dan cenderung fokus pada penuntasan kurikulum
serta waktu pembelajaran berkurang sehingga guru tidak mungkin memenuhi beban
jam mengajar.
Untuk
orang tua kendala yang dihadapi adalah tidak semua orang tua mampu mendampingi
anak belajar di rumah karena ada tanggung jawab lain yang harus dijalankan
(kerja, urusan rumah, dsb.) serta kesulitan orang tua dalam memahami pelajaran
dan memotivasi anak saat mendampingi putra-putrinya belajar di rumah.
Adapun kendala
yang dihadapi siswa adalah kesulitan dalam konsentrasi belajar dari rumah serta
keluhan akan beratnya pemberian tugas dan soal-soal dari guru dan sekolah.
Oleh
sebab itu, Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri, yakni Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam
Negeri yang dikeluarkan pada pertengahan Juni 2020 lalu akhirnya direvisi.
Tentunya revisi dilakukan berdasarkan hasil evaluasi pemerintah pusat.
Demikian
disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, pada
taklimat media Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi COVID-19, di
Jakarta, Jumat (07/08).
Zona Kuning Diperbolehkan Melakukan
Pembelajaran Tatap Muka
Dalam
revisi SKB tersebut, Nadiem mengatakan bahwa daerah-daerah yang berada pada
zona kuning diperbolehkan melakukan pembelajaran tatap muka.
Mendikbud
juga menjelaskan bahwa pemerintah mengimplementasikan dua kebijakan baru
sebagai berikut.
1. Perluasan pembelajaran tatap muka untuk zona kuning. Pelaksanaan pembelajaran tatap muka diperbolehkan untuk semua jenjang yang berada di zona hijau dan zona kuning.
2. Kurikulum
darurat (dalam kondisi khusus).
Sekolah diberi fleksibilitas untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan
kebutuhan pembelajaran siswa. Modul pembelajaran dan asesmen dibuat untuk
mendukung pelaksanaan kurikulum darurat (dalam kondisi khusus).
“Untuk
daerah yang berada di zona oranye dan merah, tetap dilarang melakukan
pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan. Sekolah pada zona-zona tersebut
tetap melanjutkan Belajar dari Rumah (BDR),” ujar Mendikbud.
Mendikbud
menegaskan, meskipun di zona hijau dan kuning, sekolah tidak dapat melakukan
pembelajaran tatap muka tanpa persetujuan Pemda/Kanwil dan Kepala Sekolah. “Pembelajaran tatap muka di sekolah di zona
kuning dan hijau diperbolehkan, namun tidak diwajibkan,” katanya menambahkan.
Terkait
kurikulum darurat, Nadiem menjelaskan, hal itu merupakan penyederhanaan
kompetensi dasar yang mengacu pada Kurikulum 2013. Pada kurikulum darurat ini
ada penyederhanaan kompetensi dasar untuk setiap mata pelajaran. Ini bertujuan
agar guru lebih fokus pada kompetensi esensial dan kompetensi prasyarat untuk
kelanjutan pembelajaran di tingkat selanjutnya.
“Pelaksanaan
kurikulum berlaku sampai akhir tahun ajaran (tetap berlaku walaupun kondisi khusus
sudah berakhir),” jelas Mendikbud.
Nadiem
memberikan kebebasan kepada satuan pendidikan untuk memilih 3 (tiga) opsi
pelaksanaan kurikulum sebagai berikut.
1.
Tetap menggunakan kurikulum nasional 2013
2.
Menggunakan kurikulum darurat (dalam
kondisi khusus)
3. Melakukan penyederhanaan kurikulum secara
mandiri.
Nadiem
mengatakan dengan penyederhanaan kurikulum tersebut diharapkan akan memudahkan proses
pembelajaran di masa pandemi. Dan dia mengatakan penyederhanaan kurikulum ini
juga akan memberikan dampak yang positif bagi guru, siswa dan orang tua.
Dampak bagi guru
1. Tersedianya acuan kurikulum yang sederhana
2. Berkurangnya beban mengajar
3.
Guru dapat berfokus pada pendidikan dan
pembelajaran yang esensial dan kontekstual
4. Kesejahteraan psikososial guru meningkat.
Dampak bagi Siswa
1.
Siswa
tidak dibebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum dan dapat
berfokus pada pendidikan dan pembelajaran yang esensial dan kontekstual.
2. Kesejahteraan
psikososial siswa meningkat.
Dampak bagi Orang Tua
1.
Mempermudah pendampingan pembelajaran di
rumah
2. Kesejahteraan psikososial orang tua meningkat.
Mendikbud
berharap, kurikulum darurat dapat membantu mengurangi kendala yang dihadapi
guru, orang tua, dan siswa selama berlangsungnya masa pandemi Covid 19.
(Sumber: http://pgdikmen.kemdikbud.go.id/read-news/mendikbud-jelaskan-soal-kurikulum-darurat;
dengan pengubahan sepertlunya)
Demi Reformasi Pendidikan, Mendikbud Akan Memberikan Kemerdekaan kepada Guru
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim (Sumber: Kemendikbud) |
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, mengatakan bahwa salah satu konsep sederhana reformasi pendidikan yang akan dilakukan Kemendikbud adalah memberikan kemerdekaan pada guru untuk mengajar pada level yang cocok dengan murid. Hal itu dikatakan Mas Menteri dalam diskusi dengan guru-guru di SDN 15 Kota Palu, Kamis (5 November 2020).
“Ini
sederhana, tapi luar biasa. Kami akan memberikan kemerdekaan bagi guru. Guru kita
berikan diagnostik lewat online.
Berdasarkan itu, di dalam kelasnya guru akan tahu siswa saya di level mana?
Literasinya, numerasinya di level mana? Dan guru diberi kemerdekaan untuk
mencocokan level kurikulum yang setara dengan level anak (didiknya),” ujar
Mendikbud.
Menurut
Mendikbud yang akrab disapa Mas Menteri di media massa ini, saat ini semua siswa
di Indonesia pada level yang sama diberikan level kurikulum yang sama tanpa
mempertimbangkan kompetensi anak bisa menyesuaikan atau tidak.
“Jakarta,
Yogya, Papua, Palu, semuanya sama. Tidak bisa. Itu namanya bukan belajar.
Belajar itu namanya guru-guru boleh mundur kalau dia mau, boleh maju kalau dia
mau, dan bukan berdasarkan umur, berdasarkan level kompetensi anaknya. Semua
anak berbeda,” jelas Nadiem.
Untuk keperluan
itu, melalui program Merdeka Belajar, pemerintah memberikan kebebasan kepada
guru untuk memilih cara penyampaian kurikulum atau cara mengajar.
“Saya
mau turun dulu, saya mau cepet, saya
mau setengah, saya lebih cepet. Silakan.
Ini akan menjadi perubahan fundamental mengenai kurikulum kita,” lanjut tokoh
muda alumnus Harvard University ini.
Penyederhanaan
standar pencapaian akan terjadi. Namun, kata Mendikbud, yang lebih penting lagi
adalah kebebasan guru untuk memilih.
“Saya
lebih tepatnya di mana nih. Anak (didik)
saya cocok di sini, saya mau level ini. Mungkin bahasa Indonesianya agak lebih
maju, tapi mungkin matematikanya agak lebih rendah. Harus dipastikan kebebasan
itu terjadi,” ungkapnya.
(Sumber: http://pgdikmen.kemdikbud.go.id/read-news/mendikbud-bicara-reformasi-pendidikan-dan-kemerdekaan-guru;
dengan penyesuaian seperlunya)
Sabtu, 14 November 2020
Rabu, 04 November 2020
Kasus Terpilihnya Donald Trump Empat Tahun Lalu: Ketika Demokrasi Mengalami Anomali
Oleh Akhmad Zamroni
Donald Trump Vs Joe Biden dalam pemilihan presiden AS 2020 (Sumber: Liputan6.com-Trie Yasni)
Mengapa orang
seperti Donald Trump bisa menjadi presiden? Mengapa tokoh kontroversial yang,
menurut hasil survei banyak media, tidak disukai oleh banyak kalangan, termasuk
oleh rakyatnya sendiri, ini bisa memenangkan pemilihan presiden di negara yang
mengklaim diri sebagai kampiun demokrasi? Apakah proses pemilihan presiden
Amerika Serikat yang memunculkan dia menjadi presiden benar-benar berlangsung bersih
dan demokratis?
Kehadiran
Trump dalam perpolitikan Amerika Serikat (AS) khususnya dan dunia umumnya
memicu tanda tanya besar. Terpilihnya dia sebagai presiden AS menimbulkan rasa
aneh di hati dan pikiran ratusan juta dan mungkin miliaran orang di seluruh dunia.
Kemunculannya sebagai orang nomor satu di AS juga menimbulkan ketidaksenangan
dan antipati di berbagai belahan dunia, termasuk juga di dalam negeri AS
sendiri.
Dalam
pandangan masyarakat internasional, Donald Trump bukanlah seorang demokrat: ia
tidak menganut dan menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi dengan
baik sebagaimana mestinya. Ia juga bukan tokoh yang menghargai dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia (HAM). Kampanye-kampanyenya menjelang pemilihan
presiden serta kebijakan-kebijakannya setelah menjadi presiden dengan gamblang
memperlihatkan bahwa ia adalah seorang politikus yang intoleran dan
diskriminatif.
Pengusaha yang
memiliki rumah judi (kasino) dan beberapa kali kepergok melakukan pelecehan terhadap wanita itu berkali-kali
menyatakan ketidaksukaannya dan sikap antipatinya terhadap Islam. Hanya karena
beberapa peristiwa teror mengatasnamakan Islam, ia membuat generalisasi bahwa
Islam itu negatif dan berbahaya sehingga perlu diwaspadai dan dibatasi. Ia
tidak bisa bersikap seperti kebanyakan atau hampir semua kepala negara di dunia
yang menganggap bahwa di luar beberapa kelompok teroris yang mengatasnamakan
Islam, Islam di banyak tempat di dunia mampu memperlihatkan wajah yang toleran,
bersahabat, dan damai, sehingga generalisasi bahwa Islam itu buruk dan jahat
sangatlah tidak tepat. Ia juga gencar memojokkan dan menyerang kaum imigran.
Tanpa rasa malu dan sadar diri bahwa ia dan kaum kulit putih di Amerika Serikat
juga merupakan kaum pendatang (imigran), ia menyatakan akan menolak atau menyeleksi
dengan sangat ketat kaum imigran di AS.
Dengan
sikapnya yang penuh prasangka, diskriminatif, rasis, tidak menghargai kebebasan,
dan paranoid tersebut, Trump dengan cepat terbentuk menjadi figur kontroversial
yang dianggap oleh banyak kalangan tidak pantas menjadi pemimpin negara sebesar
AS. Masyarakat AS sendiri tidak sedikit yang menganggapnya sebagai presiden
terburuk dalam sejarah AS. Masyarakat internasional dan sebagian masyarakat AS
kini sepertinya justru memasukkan dia sebagai “figur yang berbahaya dan perlu
terus dikawal kebijakan-kebijakannya.”
Persoalannya
adalah kembali pada pertanyaan awal: mengapa ia bisa terpilih menjadi presiden
AS? Bagaimana sistem demokrasi di AS yang sangat canggih, mapan, dan begitu
dikagumi masyarakat dunia bisa meloloskan orang seperi dia? Apakah ada
kesalahan dalam sistem demokrasi di AS sehingga tokoh sekontroversial Trump
bisa masuk bursa calon presiden AS?
Pemilihan presiden AS tahun 2020 (Sumber: Mario Tama-Getty Images via AFP) |
Kasus Trump
menunjukkan bahwa sistem yang demokratis tidak selamanya mampu melahirkan
pemimpin yang berintegritas serta menghargai HAM dan demokrasi itu sendiri.
Terpilihnya dia sebagai presiden menunjukkan bahwa (sistem) demokrasi yang
sangat canggih dan kredibel pun ternyata masih mengandung kelemahan. Dengan
kata lain, demokrasi yang dipuja-puja dan dianggap sebagai sitem politik dan
kehidupan yang paling baik tetap saja dapat mengalami anomali.
Terlepas dari
masalah keteledoran Partai Republik untuk meloloskan dia menjadi kandidat
presiden, kasus Trump dengan telak memperlihatkan ketidakakuratan dan ketidakcanggihan
sistem demokrasi dalam melakukan seleksi calon pemimpin. Kelemahan ini agaknya
bermula dari rekrutmen calon pemimpin yang tidak tepat akibat subjektivitas
berlebihan yang terjadi pada partai politik dan massa pendukung kandidat.
Partai politik tempat Trump bernaung, yakni Partai Republik, serta massa
pendukungnya, walaupun hidup di negeri yang demokrasinya sudah sangat mapan,
tampaknya kali ini tidak mampu melepaskan diri dari primordialisme sempit
sehingga tokoh yang berkarakter rasis dan tidak menghargai HAM seperti Trump
tetap saja mereka dukung. Dan terlepas dari persoalan money politics yang bisa
saja terjadi, mereka yang memiliki kepentingan untuk mengutamakan kelompok ras
atau agamanya menganggap Trump sebagai orang yang tepat untuk dijadikan amunisi
sekaligus meriam perjuangan.
Adapun perihal
rumor intervensi Rusia dalam pemilihan presiden AS yang, konon dengan
retasannya mampu “memenangkan” Trump sebagai presiden, masih menjadi tanda
tanya besar serta kemungkinannya menjadi faktor penentu utama kemenangan Trump
tidaklah signifikan. Melalui retasannya ke sistem IT pemilihan presiden AS, mungkinkah
Rusia mampu memobilisasi rakyat AS untuk memilih Trump? Mungkinkah rakyat AS
demikian gampangnya dibodohi oleh Rusia? Mungkin saja itu terjadi, tetapi jika
rakyat AS sejak semula dan pada dasarnya menghendaki pemimpin yang demokratis,
toleran, dan tidak diskriminatif, usaha apa pun untuk mengalihakan atau
memanipulasi aspirasi mereka tetap saja akan gagal dan mereka tentu tidak akan
memilih Trump. Namun, kenyataannya Trump menjadi pemenang sehingga menjadi
sulit untuk ditampik bahwa aspirasi sebagian warga AS telah terkontaminasi oleh
subjektivitas dan primordialisme.
Hal itu
membuktikan bahwa demokrasi yang tidak didukung oleh objektivitas dan toleransi
dapat mengalami blunder dan anomali. Sebagai sistem, demokrasi jelas
sangat baik untuk mewadahi kepentingan dan nasib semua suku, ras, penganut
agama, dan semua kelompok manusia karena demokrasi mengharuskan adanya
persamaan hak dan kewajiban untuk semua urusan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Namun, demokrasi hanyalah sebuah sistem yang
dijalankan oleh sekumpulan manusia, yang jika sebagian dari kumpulan manusia
itu keliru (subjektif, intoleran, diskriminatif, dan sejenisnya) dalam
bersikap, berperilaku, dan mengambil kebijakan, demokrasi bisa menjadi bumerang
yang berbahaya. Demokrasi yang dijalankan dengan cara demikian dapat menjelma
menjadi otoritarianisme yang menindas dan destruktif.
Dan kini, hipotesis
itu mulai memperlihatkan kebenarannya melalui perilaku kekuasaan Trump. Beberapa
perkembangan terakhir menunjukkan, Trump dengan jelas memperlihatkan sifat
tangan besi dan otoriternya. Ia dengan sewenang-wenang memecat Direktur FBI, James
Comey, yang tengah menyelidiki kemungkinan tim kampanye Trump menjalin hubungan
dengan pihak Rusia selama masa kampanye pemilihan presiden serta
menginvestigasi kasus orang terdekat Trump, yakni Michael Flynn (Penasihat
Keamanan Nasional), yang terbukti berbohong kepada Mike Pence (Wakil Presiden)
dan diduga melakukan pertemuan rahasia dengan intelijen Turki. Terakhir, Trump
juga diduga kuat membocorkan informasi sangat rahasia dan sensitif milik AS
kepada Rusia.
Kini
pertanyaan lain muncul: mungkinkah Trump tergusur dari jabatannya sebagai presiden
dan demokrasi akan kembali pulih di AS? Jika demokrasi menemukan bentuknya
kembali yang murni dan utuh di AS, kepemimpinan dan sepak terjang Trump
tentunya akan segera berakhir. Demokrasi tidak bisa berjalan beriringan dengan
kepemimpinan yang otoriter.
Wallahu a’lam bissawab.
The Case of the Election of Donald Trump Four Years Ago: When Democracy Experienced Anomaly
By Akhmad Zamroni
Trump vs Biden (Source: Reuters) |
Why did
someone like Donald Trump become president? Why is this controversial figure
who, according to a survey by many media, is disliked by many circles,
including his own people, able to win the presidential election in a country
that claims to be the champion of democracy? Did the election process for the
president of the United States that resulted in him becoming president really
run clean and democratic?
Trump’s
presence in the politics of the United States (US) in particular and the world
in general raises a big question mark. His election as US president caused a
strange feeling in the hearts and minds of hundreds of millions and possibly
billions of people around the world. His emergence as the number one person in
the US has also generated resentment and antipathy in various parts of the
world, including within the US.
In the
view of the international community, Donald Trump is not a democrat: he does
not properly adhere to and apply democratic principles and values as they
should. He is also not a figure who respects and upholds human rights (HAM).
His campaigns ahead of the presidential election and his policies after
becoming president made it clear that he was an intolerant and discriminatory
politician.
The
businessman who owns a gambling house (casino) and was caught several times
harassing the woman repeatedly expressed his dislike and anti-Islam attitude.
Just because several terror incidents acted in the name of Islam, he made a
generalization that Islam is negative and dangerous so that it needs to be
watched out and limited. He cannot act like most or almost all heads of state
in the world who think that outside of several terrorist groups acting in the
name of Islam, Islam in many parts of the world is capable of showing a
tolerant, friendly, and peaceful face, thus generalizing that Islam is bad and
evil. very imprecise. He also aggressively cornered and attacked immigrants.
Without shame and self-awareness that he and white people in the United States
are also immigrants (immigrants), he stated that he would reject or strictly
select immigrants in the US.
With
his prejudiced, discriminatory, racist, disrespectful, and paranoid attitude,
Trump quickly became a controversial figure whom many considered unworthy of
being the leader of a country the size of the US. Not a few Americans
themselves consider him the worst president in US history. The international
community and parts of the US society now seem to include him as a “dangerous
figure and his policies need to be monitored.”
The
problem is returning to the original question: why could he be elected
president of the US? How could the democratic system in the US which is very
sophisticated, well established, and so admired by the world community can pass
someone like him? Is there a mistake in the democratic system in the US so that
a controversial figure like Trump can enter the US presidential candidate?
United States Presidential Election 2020 (Source: Reuters) |
Trump’s
case shows that a democratic system is not always able to produce leaders with
integrity and respect for human rights and democracy itself. His election as
president shows that even a highly sophisticated and credible democracy
(system) still contains weaknesses. In other words, democracy that is revered
and considered as the best political system and life can still experience anomalies.
Apart
from the problem of the Republican Party’s negligence in getting him to become a
presidential candidate, Trump’s case clearly demonstrates the inaccuracy and
inadequacy of the democratic system in selecting candidate leaders. This
weakness apparently stems from the inaccurate recruitment of candidate leaders
due to the excessive subjectivity that occurs in political parties and the
masses of candidate supporters. The political party where Trump belongs, namely
the Republican Party, and the masses of supporters, even though they live in a
country where democracy is very well established, it seems that this time they
are unable to break away from narrow primordialism so that figures with racist
characteristics and do not respect human rights like Trump still support them.
And apart from the money politics problem that could occur, those who have an
interest in prioritizing racial or religious groups consider Trump the right
person to be used as ammunition as well as a battle cannon.
As for
the rumors of Russian intervention in the US presidential election which, it is
said with hacks were able to “win” Trump as president, is still a big question
mark and the possibility of being the main determining factor for Trump’s
victory is not significant. Through its hack into the US presidential election
IT system, is it possible that Russia will be able to mobilize the US people to
elect Trump? Could it be that the people of the US were so easily fooled by
Russia? It may happen, but if the American people from the beginning and
basically want leaders who are democratic, tolerant, and non-discriminatory,
any attempt to outsource or manipulate their aspirations will still fail and
they certainly will not vote for Trump. However, in reality Trump became a
winner, so it becomes difficult to deny that the aspirations of some US
citizens have been contaminated by subjectivity and primordialism.
This
proves that democracy which is not supported by objectivity and tolerance can
experience blunders and anomalies. As a system, democracy is clearly very good
for accommodating the interests and fate of all ethnic groups, races, religious
followers, and all human groups because democracy requires equal rights and
obligations for all affairs in the life of society, nation and state. However,
democracy is only a system run by a group of people, if a part of the human
group is wrong (subjective, intolerant, discriminatory, and the like) in
behaving, behaving, and making policies, democracy can backfire. Democracy that
is carried out in this way can transform into an oppressive and destructive
authoritarianism.
And
now, that hypothesis is starting to show its truth through Trump’s power
behavior. Recent developments show that Trump is clearly showing his
iron-fisted and authoritarian nature. He arbitrarily fired FBI Director James
Comey, who was investigating the possibility that Trump’s campaign team had a
relationship with the Russians during the presidential election campaign as
well as investigating the case of Trump’s closest person, Michael Flynn
(National Security Advisor), who was proven to have lied to Mike. Pence (Vice
President) and is suspected of having a secret meeting with Turkish
intelligence. Finally, Trump is also strongly suspected of leaking highly
classified and sensitive US information to Russia.
Now
another question arises: is it possible that Trump will be removed from office
and democracy will recover in the US? If democracy finds its true and full form
again in the United States, Trump’s leadership and activities will certainly
end soon. Democracy cannot go hand in hand with authoritarian leadership.
Wallahu a’lam bissawab.