Minggu, 24 Maret 2019

Rumah Makan Gratis: Mengubah Aditya Prayoga dari Gelandangan Menjadi Dermawan


Oleh Akhmad Zamroni

Aditya Prayoga (transmedia-youtube.com)

Pada zaman modern yang didominasi kapitalisme seperti saat ini, pernahkah Anda memiliki bayangan untuk membuat sebuah usaha yang pelayanannya kepada konsumen dilakukan secara gratis setiap hari? Jika Anda sempat membayangkannya, bagaimana cara mempertahankan usaha yang unik seperti itu? Bagaimana pula cara memperoleh keuntungan dan mendapatkan dana untuk belanja berbagai keperluan guna menjaga produksi barang dan kelangsungan usaha?

Bagi banyak orang, mendirikan usaha yang setiap hari memberikan pelayanan gratis penuh kepada konsumen, mungkin terasa mustahil, tidak masuk akal, dan aneh. Namun, bagi seorang pria muda bernama Aditya Prayoga, hal itu logis, wajar, dan dapat diwujudkan. Bagi kebanyakan orang, apalagi yang sudah terkena virus kapitalisme, jenis usaha gratisan semacam itu akan membuat kolaps dan bangkrut, tetapi bagi Aditya tetap memberikan “keuntungan” serta kepuasan dan kebahagiaan tersendiri.

Aditya mampu membuktikannya dengan membuka rumah makan gratis. Ia mendirikan sebuah warung makan yang ia beri nama “Rumah Makan Gratis” dengan tambahan tagline (semboyan) “Makan dan Minum Gratis Setiap Hari Tanpa Syarat”. Seperti nama dan semboyannya, rumah makan ini benar-benar memberikan pelayanan gratis sepenuhnya (seratus persen) kepada pengunjung. Pengunjung dibebaskan untuk makan dan minum sepuasnya tanpa membayar satu rupiah pun.
·         Limpahan Rezeki dari Invisible Hands
Meskipun setiap hari memberikan pelayanan gratis kepada pengunjung, Aditya mampu mempertahankan usahanya dengan baik. Didirikan sejak tahun 2016, warung makannya tetap eksis dan kian populer dengan kemampuan memberikan pelayanan yang makin meningkat dari waktu ke waktu. Awalnya hanya menyediakan 50 porsi makan-minum gratis setiap hari kepada pengunjung (tahun 2016), setelah berjalan dua tahun lebih kini warung makannya mampu menyediakan 300 porsi makan-minum (2019).

Keadaan itu menunjukkan bahwa usaha yang dirintis Aditya tidak kian surut dan kolaps, melainkan justru makin meningkat dan kuat. Adapun perihal “keuntungan” yang ia peroleh, bukanlah keuntungan uang dan materi sebagaimana yang biasa dibayangkan dan diidam-idamkan umumnya orang yang membuka usaha. Keuntungan yang diperoleh Aditya adalah “keuntungan” sosial, kemanusiaan, dan religius-spiritual, yakni dengan membuka rumah makan gratis, ia telah membantu dan meringankan banyak sekali orang sehingga menyebabkannya merasa puas dan bahagia, dan yang lebih penting lagi dengan cara itu ia mendapatkan pahala yang tak terhitung nilainya dari Allah swt.

Pengunjung Rumah Makan Gratis
(Facebook-https://www.wowkeren.com)

Itulah sebabnya, meski warung makannya memberikan pelayanan gratis setiap hari, ia hampir tidak pernah kesulitan dan apalagi kehabisan modal untuk mempertahankan dan melangsungkan usahanya. “Bisnis”-nya lebih merupakan usaha amal dan bukan dagang mencari untung (laba) sehingga ia mendapatkan banyak limpahan rezeki dari invisible hands (tangan-tangan yang tak terlihat). Invisible hands  itu tidak lain adalah berkah (barokah) dan pertolongan dari Sang Maha Pemberi Rezeki, Allah swt.

Selama dua tahun lebih mengelola rumah makan itu, pria asal Palembang ini relatif tak menemui kesulitan untuk mendapatkan rezeki. Ia membiayai rumah makan gratisnya dengan dana hasil keuntungan dari usaha lain yang ia buka (antara lain, bisnis parfum, sabun, dan speaker  murottal Alquran) yang hingga kini tetap lancar menghasilkan laba. Tidak sedikit pula orang-orang yang bersimpati dengan usaha mulianya mendonasikan dana untuk mendukung usaha warungnya.
·         Dari Gelandangan Menjadi Dermawan
Motivasi utama Aditya mendirikan warung makan gratis sama sekali bukan untuk mencari untung/laba, melainkan membantu orang-orang kalangan bawah yang kesulitan untuk mendapatkan makanan. Ia sangat tersentuh oleh pengalaman spiritual saat dirinya menjadi gelandangan serta bertemu dengan seorang ustad dan beberapa orang lanjut usia yang hidup sebatang kara dan miskin. Kejadian ini menginspirasinya untuk membuka warung makan cuma-cuma.

Ia memutuskan untuk membuka warung makan gratis guna membantu orang-orang miskin dan menderita. Aditya memahami sulitnya orang-orang miskin mendapatkan makanan karena ia sendiri pernah hidup menggelandang tanpa pekerjaan. Saat menggelandang itu ia bertemu dengan seorang ustad di Masjid Istiqlal, Jakarta (tempat yang selama hampir sebulan ia jadikan “penginapan gratis”) dan sang ustad menasihatinya untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Alquran serta menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama.

Pertemuannya dengan beberapa orang lanjut usia yang hidup fakir ia jadikan titik tolak untuk memulai ikhtiar menjalankan nasihat sang ustad. Ia berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Alquran, antara lain, dengan menikah dan membantu kaum miskin dengan mendirikan kedai makan cuma-cuma. Untuk membuka warung makan gratis pertamanya, ia menjual sepeda motor matik satu-satunya untuk modal. Istrinya yang sempat keberatan dapat ia yakinkan untuk mendukung usahanya.

Didirikan pada tahun 2016, warung itu setiap hari dikunjungi orang dari berbagai kalangan. Aditya sama sekali tidak membatasi status dan asal-usul pengunjung warungnya. Orang dari suku, etnik, agama, golongan, kalangan miskin, kalangan kaya, dan kalangan lain apa pun ia persilakan untuk datang serta menyantap makanan dan minuman yang ia sediakan. Pengunjungnya banyak yang berasal dari kalangan tak mampu, tetapi kadang-kadang banyak pula dari kalangan atas yang serba berkecukupan (kaya). Kalangan terakhir ini selain datang untuk bersantap, biasanya juga turut memberikan donasi (sumbangan dana).

Warung makan gratis Aditya terletak di Jalan Raya Ciangsana Nomor 1, Kampung Pabuaran, Desa Ciangsana, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Bangunannya sederhana, tetapi luasnya cukup untuk menampung puluhan pengunjung. Selain nasi putih dan minuman, menu lain yang disediakan di antaranya ikan, daging ayam, dan aneka sayur. Hampir setiap hari jenis menu yang dihidangkan diusahakan untuk diganti dan divariasi.

Aditya bersama pengunjung rumah makannya
(https://www.liputanbogor.com)

Usaha amal lain yang dilakukan Aditya adalah setiap hari Jumat ia bersama tim yang dibentuknya membagi-bagikan sembako (sembilan bahan pokok) gratis kepada warga kurang mampu di Desa Ciangsana dan sekitarnya. Ia masih memiliki sejumlah rencana aksi amal lagi untuk beberapa tahun ke depan. Selain berencana dan berharap untuk waktu yang akan datang rumah makan gratisnya mampu menyediakan seribu porsi makan-minum dalam sehari, ia juga berkeinginan membuat kolam renang gratis yang di sekitarnya dilengkapi kantin gratis dan masjid.

Berkat kegiatan-kegiatan amalnya saat ini, Aditya kini dikenal sebagai dermawan. Ia sendiri sebenarnya bukanlah orang kaya; sampai saat ini ia masih tetap hidup sederhana.  Namun, ayah dari seorang putra ini berprinsip bahwa untuk beramal dan membantu kehidupan sesama (terutama kaum duafa/fakir), tidak harus menunggu menjadi kaya lebih dahulu.

Meski secara materi tidak berlimpah, Aditya merasa hidupnya bernilai. Sejak rajin beramal dan terutama membuka rumah makan gratis, rezeki datang dan mengalir dari sumber dan arah yang tidak ia duga-duga. Bisnis lainnya yang murni ia tekuni untuk mendapatkan keuntungan (menjual parfum, sabun, dan speaker  murottal Alquran) berjalan dan mendatangkan rezeki yang lancar serta tubuhnya yang dahulu sering sakit-sakitan kini menjadi lebih bugar dan sehat. Pria berusia 28 tahun ini tak pernah meminta sumbangan, tetapi para donatur seperti berlomba-lomba untuk membantu dan mendukungnya: ada yang meminjaminya tanah selama lima tahun untuk usaha warung gratisnya, ada yang sampai mewakafkan tanah seluas 15 hektare, ada yang memberinya motor dan mobil, ada yang membiayainya pergi umroh, dan sebagainya.

Aditya telah memilih jalan hidupnya sesuai dengan tuntunan Alquran yang isinya telah ia pelajari dan coba amalkan saat mulai merintis usaha rumah makan gratisnya. Sebagai imbalannya, ia pun kini menuai hasil sebagaimana yang dijanjikan Allah melalui Alquran pula. Surah Albaqarah Ayat 261 menyatakan, “Perumpamaan orang yang menyedekahkan (mendermakan) hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang yang menanam) sebutir biji yang menumbuhkan tujuh untai dan di setiap untainya terdapat seratus biji, dan Allah melipatgandakan (balasan/imbalan) kepada orang yang dikehendaki; Allah Mahaluas (anugerah-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Selasa, 19 Maret 2019

Indonesia sebagai Negara Hukum


Oleh Akhmad Zamroni

Mahkamah Agung (Sumber: storyza.wordpress.com)


    Negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan ini sangat jelas tertera dalam konstitusi negara kita, UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3). Sebagai negara hukum, Indonesia menempatkan hukum pada kedudukan yang tinggi. Di negara kita, hukum dijadikan perangkat untuk mengatur sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
    Sebagai negara hukum, Indonesia bersikukuh dengan prinsip dan pandangan bahwa tidak ada orang yang (boleh) berdiri di atas hukum. Di negara Indonesia tidak dibenarkan ada orang yang kebal hukum. Semua warga negara –– tanpa perkecualian –– memiliki hak, kewajiban, dan kedudukan yang sama di depan hukum.
    Terkait dengan pentingnya kedudukan dan fungsi hukum, para ahli hukum, praktisi hukum, dan mereka yang sangat peduli dengan hukum sepakat dengan adagium yang menyatakan bahwa “Hukum adalah panglima” atau “Biarpun langit runtuh, hukum harus tetap dijunjung tinggi.” Hal ini menunjukkan bahwa hukum menjadi sandaran utama untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal itu juga menegaskan bahwa dalam keadaan yang bagaimanapun, hukum harus tetap menjadi pengelola kehidupan.
    Begitulah posisi dan peranan hukum yang diidealkan dalam negara yang mengklaim diri sebagai negara hukum. Dan memang demikianlah seharusnya sebuah negara hukum menjalankan kehidupannya. Seluruh bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dijalankan dengan landasan aturan hukum. Setiap persoalan yang muncul dalam berbagai bidang –– politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sebagainya –– harus dikembalikan pada hukum. Solusi atau penyelesaian atas kasus yang muncul dalam semua sendi kehidupan harus senantiasa dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku.

Menciptakan Kehidupan yang Adil dan Beradab melalui Penegakan Hukum


Oleh Akhmad Zamroni

Penegakan hukum untuk menciptakan keadilan (http://media.philstar.com)


    Sikap dan perilaku terhadap hukum menjadi aspek yang sangat menentukan –– jika tak dapat dikatakan yang ‘paling menentukan’ –– dalam upaya penegakan hukum. Sikap dan perilaku yang positif terhadap hukum lahir dari kesadaran dan komitmen yang kuat terhadap hukum. Pribadi yang memiliki kesadaran dan komitmen kuat terhadap hukum akan memiliki sikap dan perilaku yang positif terhadap hukum. Sikap dan perilaku positif terhadap hukum akhirnya akan menciptakan ketaatan terhadap hukum serta kesukarelaan (kesediaan dan keikhlasan) untuk melaksanakan aturan hukum.
·         Rendahnya Kepatuhan terhadap Hukum
    Hal terakhir itulah yang seringkali menjadi tanda tanya besar dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Sudahkah seluruh –– atau setidaknya sebagian besar ––  komponen bangsa kita memiliki sikap dan perilaku taat terhadap hukum serta kesukarelaan untuk melaksanakan aturan hukum? Jawabannya, tampaknya, adalah “belum” jika yang menjadi ukuran adalah jumlah dan frekuensi kasus pelanggaran hukum. Sebagaimana yang sudah sering disinggung, dewasa ini Indonesia sedang dibelit oleh begitu banyak persoalan hukum, dari maraknya kasus pelanggaran hukum, pemberlakuan hukum yang cenderung diskriminatif, sampai penyelesaian (pemberian putusan) atas berbagai perkara hukum yang kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Atas semua kerunyaman ini, betapa para tokoh dan pemimpin yang peduli terhadap upaya penegakan hukum sering mengeluarkan keluhannya seraya melontarkan otokritik bahwa masyarakat dan bangsa kita sangat memprihatinkan dalam hal kapatuhan dan ketundukannya pada hukum.

Pelanggar hukum menjalani hukuman (http://www.ditjenpas.go.id)

    Dengan kata lain, ketaatan terhadap hukum serta kesukarelaan untuk melaksanakan aturan hukum dengan konsisten dan tanpa pandang bulu kiranya memang belum mengakar kuat dan membudaya dalam sikap dan perilaku bangsa kita. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan. Sebagai negara yang mengklaim diri sebagai negara hukum, kita tidak dapat membiarkan hal ini terus-menerus berlangsung. Kita pasti tidak menghendaki keadaan ini berkembang ke arah kemerosotan yang tak terkendali hingga akhirnya terjadi anarki, chaos, dan disintegrasi.
·         Optimisme Penegakan Hukum
    Namun, untuk menghadapi keadaan yang sedang berlangsung kiranya sikap pasrah, pesimistis, dan apriori harus dibuang jauh-jauh. Bagaimanapun juga, kita harus tetap berupaya untuk bangkit melakukan upaya penyelamatan. Kita harus optimis bahwa selama ada upaya nyata untuk mencari solusi dan memperbaiki keadaan, upaya penegakan hukum masih dapat diselamatkan. Di sekitar kita masih tersedia banyak orang yang memiliki komitmen kuat dan konsistensi tinggi dalam upaya penegakan hukum serta dengan dibarengi teladan positif mereka tak jemu-jemunya mempersuasi masyarakat untuk tunduk dan melaksanakan hukum sehingga harapan untuk terwujudnya sikap dan perilaku taat hukum serta kesukarelaan untuk melaksanakan aturan hukum yang berlaku pada bangsa ini tidaklah mustahil dapat menjadi kenyataan.

Aparat hukum tidak boleh kehilangan optimisme
(Sumber: www.mahkamahagung.go.id)

    Penegakan hukum merupakan upaya yang wajib dilakukan secara berkesinambungan tanpa mengenal lelah dan putus asa, apalagi di tengah masih lemahnya kesadaran dan komitmen terhadap hukum serta banyaknya kasus pelanggaran hukum. Dalam keadaan yang bagaimanapun, hukum harus tegak. Tegaknya hukum akan menyingkirkan atau setidaknya mengurangi secara drastis berbagai keadaan dan perilaku yang tidak menyenangkan di tengah kehidupan kita, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kekacauan.
·         Mewujudkan Kehidupan yang Adil dan Beradab
    Tegaknya hukum tidak hanya akan menciptakan keadilan, melainkan juga mendatangkan berbagai kenyamanan dan keteraturan hidup. Jika kita memiliki sikap dan perilaku taat hukum serta kesukarelaan untuk melaksanakan aturan hukum, hukum pun akan “berbalik” memberikan “jasa baik”-nya kepada kita: hukum akan memberikan keamanan, ketenangan, keteraturan, dan kedamaian. Hal-hal terakhir inilah yang kita butuhkan dalam upaya mencapai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang adil dan beradab.
    Kehidupan yang beradab artinya adalah kehidupan yang bermartabat dan maju. Salah satu ciri bangsa yang beradab memang adalah bangsa yang tunduk, taat, dan melaksanakan hukum sehingga hukum dan peradaban memang saling terkait. Dengan demikian, salah satu cara untuk mencapai masyarakat dan bangsa yang beradab adalah melakukan upaya penegakan hukum.

Rendahnya Moral, Kesadaran, dan Komitmen terhadap Hukum

Oleh Akhmad Zamroni

Maraknya korupsi menjadi salah satu indikasi kuat rendahnya moral, kesadaran, dan komitmen terhadap hukum
(Sumber: http://assets-a2.kompasiana.com)


    Mengapa ironi banyaknya aparat penegak hukum yang melanggar hukum dapat terjadi? Mengapa para aparat penegak hukum, pengacara, pejabat negara, dan wakil rakyat yang mestinya menjadi pelopor upaya penegakan hukum justru banyak yang “tersesat” dan “durhaka” dengan menjadi penghambat upaya penegakan hukum? Mengapa mereka hanya pandai mengimbau dan mengajak masyarakat untuk patuh terhadap hukum, tetapi mereka sendiri tidak mampu memberikan teladan yang positif dalam upaya penegakan hukum?
    Persoalan yang berada di belakangnya mungkin memang kompleks dan tali-temali. Berbagai persoalan, dari pengaruh perkembangan zaman (kuatnya materialisme), kecemburuan ekonomi, perlombaan kemewahan, sikap rakus, hingga mengumbar keserakahan, mungkin saja menjadi penyebabnya. Akan tetapi, kiranya cukup jelas bahwa merosotnya moral, rapuhnya mental, serta rendahnya kesadaran dan tipisnya komitmen hukum menjadi penyebab pokoknya.


Penuhnya penjara oleh tahanan menunjukkan banyaknya
kasus pelanggaran hukum (Sumber: unimondo.org)

    Betapapun buruknya kehidupan, jika kita masih memiliki moral dan mental yang tinggi serta mempunyai kesadaran dan komitmen hukum yang kuat, kita tidak akan terjerumus menjadi pelaku pelanggaran hukum. Selama kita sadar, berkomitmen, dan mempercayai hukum sebagai pengatur kehidupan, kita akan memperlakukan hukum sebagaimana semestinya, yakni memperlakukan hukum dengan benar. Perlakuan yang benar terhadap hukum ditunjukkan dengan kesediaan untuk di sisi satu memberlakuan hukum tanpa pandang bulu dan di sisi lain memperlihatkan sikap dan perilaku patuh, tunduk, dan melaksanakan aturan hukum dengan konkret dan konsisten.
    Oleh sebab itulah, upaya penegakan hukum kiranya tidak cukup dilakukan hanya dengan pembuatan dan pemberlakuan instrumen atau aturan hukum, seperti KUHP dan peraturan perundang-undangan. Upaya tersebut juga tidak cukup hanya dengan membuat dan menggerakkan lembaga penegak hukum untuk melakukan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya secara benar. Keberadaan aturan hukum dan lembaga penegak hukum, betapapun sempurnanya, tidak akan banyak berdaya untuk menegakkan hukum jika kesadaran dan komitmen hukum   –– disertai moralitas dan mentalitas –– yang tertanam di tubuh bangsa ini masih rendah. Pelanggaran hukum dalam berbagai bentuknya akan terus terjadi serta sulit dicegah dan ditanggulangi –– dan dengan sendirinya upaya penegakan hukum akan terbengkalai –– jika kehendak untuk taat dan tertib hukum serta tekad untuk melaksanakan aturan hukum dengan konsisten belum mengakar kuat pada semua kalangan dan lapisan masyarakat bangsa ini.

Panorama Penegakan Hukum di Indonesia


Oleh Akhmad Zamroni

Palu hakim di pengadilan (Sumber: http://www.newtapanuli.com)

    Apa yang diidealkan memang tidak selalu terwujud secara konkret dalam realitas kehidupan. Hukum sebagai pengatur utama kehidupan yang mampu mendatangkan keadilan dan kebenaran di negara kita ternyata masih sebatas idealisme yang sulit diwujudkan. Hukum sebagai panglima dalam mengatur tata kehidupan kiranya masih sebatas kata-kata yang belum meresap dalam bentuk tindakan nyata dalam praktik kehidupan sehari-hari kita.
    Taat dan tertib hukum belum menjadi sikap dan perilaku yang membudaya dan mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat kita. Sejak negara kita terbentuk melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pasang surut kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita masih lebih banyak diwarnai keengganan untuk secara penuh tunduk dan melaksanakan hukum. Tidak kurang, hal ini terjadi di kalangan pemerintah, para tokoh, para pemimpin, dan bahkan aparat penegak hukum sendiri. Pada masa pemerintahan Orde Lama –– masa awal berdirinya negara Indonesia –– pemerintahan dijalankan secara otoriter dan penuh pelanggaran terhadap Pancasila dan UUD 1945, terutama setelah berlakunya Dekret Presiden 5 Juli 1959. Pada masa Orde Baru –– yang semula bertekad untuk mengoreksi kesalahan rezim Orde Lama –– pemerintahan bahkan dijalankan dengan lebih otoriter serta sarat dengan pelanggaran hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Dan kini, pada era reformasi –– yang semula lagi-lagi dimaksudkan untuk mengoreksi kesalahan rezim-rezim sebelumnya (Orde Lama dan Orde Baru) –– pelanggaran hukum masih tetap saja menjadi peristiwa dan pemandangan yang sangat sering kita jumpai.
·         Inkonsistensi Penegakan Hukum
    Perkembangan setelah reformasi bahkan memperlihatkan bahwa upaya penegakan hukum di negara kita mengalami masalah yang sangat serius. Selama sekitar dua dasawarsa (1999-2019) upaya penegakan hukum seperti mengalami deadlock (jalan buntu). Banyak sekali kasus pelanggaran hukum baik di daerah-daerah maupun di pusat tidak diselesaikan sebagaimana mestinya.
    Kecenderungan yang menonjol adalah banyak kasus pidana diselesaikan secara diskriminatif atau tebang pilih. Tidak sedikit fakta menunjukkan, hukum diberlakukan secara konsisten hanya pada kalangan masyarakat lapisan bawah yang miskin, bodoh, dan tidak memiliki akses kekuasaan. Para pelaku tindak pidana kecil-kecilan, yang melakukan kejahatan karena terpaksa dan faktor kemiskinan –– seperti mencuri beberapa butir buah cokelat dan semangka –– diproses hukum dan dijatuhi hukuman sesuai aturan, sementara para pelaku tindak pidana besar, yang melakukan kejahatan karena sifat rakus dan serakah –– seperti penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (abuse of power) dan korupsi miliaran atau triliunan rupiah –– banyak yang dibiarkan menghirup udara bebas atau diproses dan dijatuhi hukuman di bawah standar (sangat ringan).
·         Mafia Hukum
    Grafik upaya penegakan hukum dalam beberapa tahun ini makin menunjukkan gejala kemerosotan yang ironis, parah, dan “gila” setelah ditemukan kasus-kasus pelanggaran hukum yang hampir-hampir tak masuk akal, yakni banyaknya petinggi aparat penegak hukum –– hakim, jaksa, dan polisi –– yang menjadi pelaku pelanggaran hukum yang serius (korupsi, manipulasi, penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan narkoba, pungutan liar, dan sebagainya). Mencuatnya kasus-kasus ini menimbulkan dugaan kuat bahwa upaya penegakan hukum di Indonesia saat ini justru dikendalikan atau setidaknya dihambat oleh jaringan yang disebut ‘mafia hukum’. Mereka yang masuk dan mengendalikan jaringan ini bukan kalangan masyarakat awam biasa, melainkan justru para aparat penegak hukum yang sangat paham akan hukum serta memiliki kedudukan yang penting dalam jajaran korp aparat penegak hukum. Sementara itu, dalam bidang fiskal (perpajakan) muncul pula dugaan kuat ihwal adanya ‘mafia pajak’ yang beroperasi untuk mengeruk keuntungan dengan cara-cara ilegal.

Aparat penegak hukum, pejabat negara, ketuap partai politik, dan anggota parlemen yang menjadi tahanan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akibat terlibat tindak kejahatan korupsi (Gambar dari berbagai sumber)

    Dugaan kuat tentang keberadaan ‘mafia hukum’ kemudian menjadi makin menemukan kebenarannya setelah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun lalu membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas Antimafia Hukum). Kebijakan SBY ini secara langsung merupakan bentuk pengakuan akan ada, beroperasi, dan merajalelanya mafia hukum dalam dunia hukum di Indonesia. Jika fenomena mafia hukum baru menjadi dugaan atau gejala kecil, tentunya pembentukan Satgas Antimafia Hukum tidak perlu dilakukan sebab upaya untuk mengatasinya cukup dilakukan dengan pemberlakuan atau penegakan hukum secara normal/biasa saja. Akan tetapi, bahwa Satgas Antimafia Hukum akhirnya dibentuk dengan kewenangan yang besar, tentunya keberadaan dan sepak terjang mafia hukum memang sudah riil, kuat, dan melembaga serta sudah pada taraf darurat dan dapat membahayakan keselamatan negara (jauh lebih serius dari sekadar dugaan dan gejala kecil).
·         Alarm Bahaya Penegakan Hukum
    Dalam pada itu, pembentukan lembaga dengan tugas khusus memberantas korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memperjelas fakta bahwa lembaga-lembaga penegak hukum reguler –– kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian –– memang sedang didera persoalan yang serius. Pembentukan KPK dilakukan sebagai upaya darurat yang dilatarbelakangi dua alasan atau pertimbangan pokok, yakni, pertama, karena lembaga-lembaga penegak hukum reguler (dianggap) tidak berdaya dan gagal melakukan upaya pemberantasan korupsi dan, kedua, karena korupsi (dianggap) sudah menjelma menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dengan demikian menjadi lebih jelas bahwa pembentukan Satgas Antimafia Hukum dan KPK menjadi pertanda kian kerasnya bunyi alarm bahaya dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Upaya penegakan hukum menjadi sangat terhambat dan bahkan terasa berbalik menjadi penghancuran hukum akibat lembaga penegak hukum reguler sendiri didera penyakit yang akut dan sulit disembuhkan.
    Keadaannya menjadi makin runyam karena perilaku kurang taat dan tertib hukum juga banyak ditemui di luar lembaga penegak hukum dan para aparat penegak hukum. Tidak hanya polisi, jaksa, dan hakim, pengacara, pejabat tinggi di pusat dan daerah, serta para anggota DPR dan DPRD pun banyak yang tersangkut kasus hukum. Umumnya mereka tersangkut kasus pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang/jabatan. Pelanggaran hukum yang terjadi memperlihatkan keruwetan yang sulit diurai atau lingkaran setan yang sulit diputus.

Senin, 18 Maret 2019

Tegar dan Percaya Diri dalam Hubungan Internasional


Oleh Akhmad Zamroni
   
Hubungan internasional yang dilakukan Indonesia (https://nasional.kompas.com)
    Dalam era global, hubungan dan kerja sama antarnegara di dunia kini memasuki babak baru. Setiap negara dituntut untuk menjalin hubungan dan melakukan kerja sama dalam upaya menjaga keberadaan dan kelangsungan hidupnya. Negara yang mencoba melepaskan dan menutup diri dari semua negara lain dapat mengalami keterpencilan, kemandekan, dan keterbelakangan.
    Korea Utara, negara komunis ortodoks yang sangat tertutup dari negara-negara lain, rakyatnya pernah mengalami bencana kelaparan yang parah. Kuba dan Myanmar yang juga cenderung tertutup mengalami kemandekan ekonomi. Ketiga negara ini mengalami banyak kemandekan, padahal sebenarnya tidak sama sekali menghindar dari hubungan dan kerja sama dengan negara lain. Mereka mengalami nasib kurang beruntung hanya karena mereka menjalin hubungan dan kerja sama yang sangat terbatas dengan negara-negara lain. Mereka cenderung hanya menjalin hubungan dan melakukan kerja sama dengan negara-negara lain yang seideologi dan sehaluan.
    Sebagai negara netral yang menganut prinsip bebas aktif, Indonesia sudah mengambil sikap yang tepat dalam melakukan hubungan dan kerja sama internasional. Indonesia menjalin hubungan diplomatik dan kerja sama dalam berbagai bidang dengan banyak sekali negara lain tanpa memandang perbedaan ideologi dan blok. Indonesia juga berpartisipasi secara aktif dalam upaya menciptakan perdamaian dunia.
    Persoalannya adalah, dalam hubungan internasional, terbuka peluang terjadinya dominasi atau hegemoni dari negara-negara tertentu terhadap negara lain. Dominasi atau hegemoni seringkali dilakukan oleh negara-negara yang kuat dan besar (secara politik dan ekonomi) dengan menanamkan pengaruh dan kekuasaannya. Upaya menanamkan pengaruh dan kekuasaan yang dilakukan pun tidak jarang bertentangan dengan prinsip-prinsip hubungan internasional, misalnya, dengan cara intervensi (campur tangan) terhadap urusan dalam negeri suatu negara.
    Sebagai negara yang juga menjalin hubungan dan kerja sama dengan negara-negara besar dan kuat, Indonesia beberapa kali pernah menerima perlakuan seperti itu. Terhadap hal ini, Indonesia wajib bersikap tegar dan percaya diri dengan cara menolak dan menentangnya. Melalui pemerintah yang sedang memimpin, Indonesia harus secara tegas dan tanpa kompromi menyatakan penolakan terhadap segala bentuk intervensi terhadap urusan dalam negeri kita dari negara lain mana pun.

Bendera negara-negara di dunia (https://siraitnews.com)

    Penolakan dan penentangan tanpa kompromi terhadap intervensi dari negara lain merupakan cermin
sikap tegar dan percaya diri yang semestinya diambil. Kita harus berprinsip bahwa penolakan dan penentangan Indonesia terhadap segala bentuk intervensi dari negara lain merupakan harga mati yang tidak dapat diubah. Sambil memegang prinsip itu, kita tetap percaya diri bahwa kita memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mempertahankan diri dari berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi sebagai akibat penolakan kita terhadap intervensi negara lain.
    Indonesia harus tetap pada pendirian bahwa urusan dalam negeri kita merupakan urusan interen yang tidak dapat dicampuri oleh negara dan kekuatan internasional lain. Menyerah pada intervensi negara atau kekuatan internasional lain mencerminkan sikap rapuh, lembek, dan rendah diri. Sikap ini, cepat atau lambat, akan menjerumuskan kita pada penghambaan terhadap negara lain, menyerahkan nasib bangsa dan negara dalam pengendalian negara lain, serta yang terburuk menyebabkan negara kita menjadi objek imperialisme (penjajahan) gaya baru.
    Sikap semacam itu jelas sangat bertentangan dengan tujuan pembentukan dan pendirian negara sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi negara kita. Sikap tersebut juga menyalahi prinsip dan pandangan negara kita tentang nilai-nilai kemerdekaan. Ketidaktegasan dan ketidakberanian menolak dan menentang intervensi negara lain merupakan wujud sikap pengecut dan pengkhianatan terhadap perjuangan para pahlawan bangsa, para pendiri negara, serta negara proklamasi 17 Agustus 1945.
    Intervensi terhadap negara lain merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hubungan internasional. Setiap negara, termasuk tentunya Indonesia, memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri sehingga berhak pula melakukan penolakan dan penentangan jika terjadi intervensi dari negara lain. Merujuk pada prinsip ini, Indonesia perlu memperkuat ketegasan sikap penolakan dan penentangannya terhadap intervensi jika suatu saat benar-benar terjadi dan menimpa kita.
    Bangsa dan negara kita memiliki sumber daya manusia dan sumber daya alam yang cukup untuk mempertahankan diri tidak hanya dari intervensi, melainkan juga dari (kemungkinan) agresi negara lain dan blokade sekelompok negara tertentu yang tak bertanggung jawab. Kita memiliki angkatan bersenjata (TNI) dan kepolisian (Polri) yang terlatih.  260-an juta penduduk juga siap berada di belakang TNI dan Polri untuk memberi dukungan dalam berbagai bentuk. Sumber daya alam yang kita miliki juga sangat melimpah (minyak bumi, gas, batu bara, panas bumi, emas, tembaga, timah, kelapa sawit, karet, rotan, dan sebagainya) serta dapat digunakan untuk bertahan jika mengalami blokade dari kekuatan internasional lain.


Tegar dan Percaya Diri Menghadapi Perdagangan Bebas

Oleh Akhmad Zamroni

Ilustrasi perdagangan bebas (free trade) (Sumber: https://jendelanasional.id)


    Sistem ekonomi yang berlaku luas secara internasional pada era global tidak lain adalah perdagangan bebas (free trade). Sitem ini menjadi pembicaraan hangat di kalangan para pemimpin negara-negara di dunia pada tahun 1990-an, kemudian sejak akhir tahun 1990-an mulai diberlakukan secara terbatas di beberapa kawasan dunia. Dan sekarang, saat kehidupan masyarakat internasional memasuki abad ke-21, sistem perdagangan bebas sudah diberlakukan secara luas di berbagai belahan dunia.
    Diberlakukannya sistem perdagangan bebas dapat dikatakan adalah cermin kemenangan kapitalisme atau liberalisme dalam perekonomian internasional. Sistem perdagangan bebas mirip dengan sistem kapitalisme, yakni sistem yang menekankan berlakunya persaingan bebas tanpa diikat banyak peraturan dalam bentuk pajak dan persyaratan administrasi lainnya. Sistem ini mengharuskan setiap negara dan para pelaku perdagangan benar-benar siap dalam menghadapi persaingan. Mereka dituntut dapat menghasilkan komoditas (barang atau jasa) berkualitas tinggi sehingga akan mampu bersaing dengan baik (kompetitif).
    Secara kompetisi atau dilihat dari segi persaingan, sistem perdagangan bebas sebenarnya memiliki sifat positif karena memacu setiap pelaku bisnis dan negara untuk meningkatkan kemampuannya dalam menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas tinggi. Melalui perdagangan bebas, setiap negara dan pelaku bisnis diingatkan untuk memperbaiki keterampilan atau kecakapan dalam membuat produk. Akan tetapi, dari segi keadilan bisnis, perdagangan bebas dianggap kurang peduli terhadap nasib negara dan pelaku bisnis miskin dan terbelakang yang belum memiliki kemampuan bersaing secara bebas. Di satu sisi, perdagangan bebas dianggap lebih mengutamakan kepentingan negara dan pelaku bisnis besar dan kuat yang sudah mempunyai kemampuan bersaing yang tinggi, tetapi di sisi lain dipandang kurang memperhatikan kepentingan negara dan pelaku bisnis kecil dan lemah yang baru belajar melakukan persaingan secara bebas.
    Oleh sebab itu, sistem perdagangan bebas seringkali dikritik dan dianggap tidak adil. Oleh beberapa kalangan, sistem ini diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya ketimpangan baru dalam perekonomian dunia. Negara dan pelaku bisnis yang besar dan kuat akan kian berjaya, sementara negara dan pelaku bisnis yang kecil dan lemah akan makin terpuruk. Bahkan, sistem perdagangan bebas dianggap dan dikhawatirkan akan melahirkan penjajahan gaya baru (neokolonialisme) oleh negara dan pelaku bisnis yang besar dan kuat terhadap negara dan pelaku bisnis yang kecil dan lemah.

Bongkar muat ekspor-impor (Antara-Rivan Awal Lingga)

    Sebagai negara yang turut terlibat dalam
perdagangan bebas, Indonesia tentu akan ikut terkena akibat-akibat yang mungkin timbul dari sistem ini. Cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung, Indonesia akan ikut terkena dampak-dampaknya. Dalam beberapa tahun terakhir ini saja, misalnya, akibat berlakunya sistem perdagangan bebas, pasar barang dan jasa di negara kita banyak dibanjiri produk impor dari berbagai negara lain. Hal ini menyebabkan terdesaknya produk-produk barang dan jasa dari dalam negeri.
    Akan tetapi, terhadap keadaan itu kita harus tetap tegar dan percaya diri akan masa depan produksi (barang dan jasa) dalam negeri. Kekhawatiran yang sempat muncul mengenai kelangsungan hidup dunia usaha di dalam negeri akibat berlakunya sistem perdagangan bebas, sebaiknya tidak dibesar-besarkan hingga berkembang menjadi kepanikan yang dapat menyebabkan terjadinya kemelut dan krisis. Kekhawatiran harus diredam dengan sikap tenang dan pikiran positif bahwa dalam menghasilkan produk kita sesungguhnya memiliki kemampuan bersaing yang cukup baik.
    Hal yang dapat kita jadikan pegangan adalah fakta bahwa terutama barang-barang produksi Indonesia cukup laku dan diminati di pasar internasional. Selama ini, kita dapat mengekspor ke banyak negara berbagai jenis barang –– baik dalam bentuk bahan mentah maupun barang jadi –– seperti minyak mentah, gas alam, batu bara, timah, tekstil, garmen, mebel, kelapa sawit, karet, kayu lapis, kopi, dan ikan. Hal ini menunjukkan bahwa barang-barang produksi Indonesia sesungguhnya mampu bersaing dengan barang produksi negara-negara lain.
    Anggapan bahwa barang dan jasa produk Indonesia kurang berkualitas sebenarnya lebih merupakan anggapan yang dihinggapi “penyakit” inferior dan rendah diri. Anggapan ini dapat dikatakan sebagai ironi yang memprihatinkan sebab justru muncul dari kalangan masyarakat kita sendiri dan tidak dari kalangan internasional. Beberapa kalangan di negara kita gemar menggunakan barang dan jasa produksi luar negeri karena menganggap barang dan jasa produksi Indonesia tidak berkualitas, padahal faktanya barang dan jasa produksi Indonesia dibeli dan digunakan oleh masyarakat dari berbagai negara di dunia.
    Oleh sebab itu, terkait dengan berlakunya sistem perdagangan bebas, kiranya kita harus berpikir dan mengkaji ulang mengenai keberadaan barang dan jasa produksi kita sendiri. Kegemaran menggunakan barang dan jasa produksi luar negeri dalam banyak kasus sebenarnya lebih merupakan sikap snobis yang harus ditinggalkan. Untuk menyelamatkan barang dan jasa produksi kita sendiri sekaligus menjaga kemampuan bersaing dalam perdagangan bebas serta menunjukkan kecintaan terhadap bangsa dan negara, kita harus senantiasa lebih memilih memakai barang dan jasa produksi dalam negeri daripada produksi luar negari. Kita harus sadar serta bersikap percaya diri dan realistis bahwa barang dan jasa produksi Indonesia yang kita pakai sebenarnya menunjukkan kelayakan untuk dikonsumsi karena memang memiliki kualitas yang memadai (karena di luar negeri pun banyak digunakan oleh warga asing).