Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: pijarnews.com |
Pada tanggal 30 September 1965 malam hari hingga dini
hari tanggal 1 Oktober 1965, Indonesia diguncang peristiwa penculikan dan
pembunuhan terhadap beberapa perwira Angkatan Darat Tentara Nasional Indonesia.
Dari bentuk manuvernya, peristiwa ini dianggap sebagai upaya untuk
menggulingkan pemerintahan yang berkuasa (kudeta). Banyak pihak, termasuk para
sejarawan, menduga kuat, dalang pelakunya adalah Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Dengan pelaku PKI, penculikan dan pembunuhan itu juga
diduga kuat merupakan upaya untuk mengganti dasar dan ideologi negara Pancasila
dengan komunisme. Namun, upaya itu gagal dan setelahnya terjadi serangan balik
terhadap PKI: orang-orang yang dianggap sebagai pemimpin, tokoh, pengikut, dan
simpatisan PKI ditangkap, dipenjarakan, dan/atau dihukum mati oleh aparat
penegak hukum, sementara ribuan lainnya mengalami pembunuhan oleh aparat dan
masyarakat. PKI kemudian dinyatakan sebagai organisasi yang terlarang. Oleh
karena pemberontakan itu dapat digagalkan dan Pancasila tetap kokoh sebagai
dasar dan ideologi negara, maka tanggal 1 Oktober kemudian ditetapkan sebagai
Hari Kesaktian Pancasila.
Kendatipun telah dilakukan pembersihan terhadap
komunisme beserta anasir-anasirnya, komunisme dianggap tidak atau belum
sepenuhnya lenyap dan mati di Indonesia. Berbagai pihak senantiasa mengingatkan
perlunya kewaspadaan terhadap bahaya laten komunisme. Jika tidak diwaspadai,
komunisme dinilai dapat bangkit lagi di Indonesia. Pada era pemerintahan Orde
Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, komunisme tidak diberi ruang
sedikit pun untuk hidup dan bergerak. Namun, pada era reformasi saat ini,
sering muncul kekhawatiran akan bangkitnya kembali komunisme akibat kehidupan
sosial, budaya, ekonomi, dan politik penuh dengan transparansi dan kebebasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar