Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: klikkabar.com |
Selain UU No. 8 Tahun 1981, UU No. 48 Tahun 2009
merupakan undang-undang yang cukup
detail mengatur masalah peradilan. Namun, jika UU No. 8 Tahun 1981
mengatur keseluruhan proses peradilan di Indonesia, UU No. 48 Tahun 2009
secara khusus mengatur aspek kekuasaan hakim dalam sistem peradilan. Di dalam undang-undang ini diatur
kedudukan, fungsi, tugas, tanggung jawab, dan kewajiban hakim dalam proses peradilan.
Dari UU No. 48 Tahun 2009
tampak jelas bahwa dalam sistem peradilan kita hakim memegang kedudukan
dan peran yang sentral. Dijelaskan dalam undang-undang ini bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Dari rumusan
ini dapat ditarik tiga hal penting, yakni bahwa (1) kekuasaan hakim mewakili kekuasaan
negara, (2) hakim memiliki
kemerdekaan/kebebasan untuk menjalankan kekuasaannya, dan (3) kekuasaan dan
kemerdekaan yang dimiliki hakim dijalankan dalam
upaya menegakkan hukum dan keadilan. Selanjutnya
hal-hal lain yang diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009, di
antaranya, sebagai berikut.
·
Dalam
Bab I (Ketentuan Umum), dijelaskan definisi tentang kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, hakim, hakim agung, hakim konstitusi, pengadilan khusus,
dan hakim ad hoc.
·
Dalam
Bab II (Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman), antara lain, diatur mengenai
prinsip penyelenggaraan peradilan, masalah peradilan negara, independensi atau
kemandirian peradilan, larangan untuk melakukan
campur tangan terhadap proses peradilan, sanksi pidana bagi pihak
yang melakukan campur tangan terhadap proses peradilan, kriteria orang yang dapat
dijadikan terdakwa dan terpidana, serta
keharusan sidang peradilan untuk dilakukan secara
terbuka bagi umum.
·
Dalam
Bab III (Pelaku Kekuasaan Kehakiman), antara lain, diatur tentang para
pemegang/pelaku kekuasaan kehakiman, peradilan-peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung,
wewenang Mahkamah Agung, organisasi dan
administrasi Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, pembentukan pengadilan khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi, serta organisasi dan dan
administrasi Mahkamah Konstitusi.
·
Dalam
Bab IV (Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim dan Hakim Konstitusi), antara lain, diatur
peranan Komisi Yudisial dalam pengangkatan hakim agung, syarat
dan tata cara pengangkatan hakim agung,
pengangkatan hakim ad hoc
dalam pengadilan khusus, syarat pengangkatan hakim konstitusi, serta pemberhentian hakim dan hakim konstitusi.
·
Dalam
Bab VI (Pengawasan Hakim dan Hakim Konstitusi), antara lain, diatur
ihwal pengawasan tertinggi atas penyelenggaraan peradilan; pengawasan internal atas
tingkah laku hakim; pengawasan eksternal untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim; serta pengawasan terhadap hakim konstitusi.
·
Dalam
Bab IX (Putusan Pengadilan), antara lain, diatur
ihwal alasan dan dasar dikeluarkannya putusan pengadilan; penetapan, ikhtisar
rapat permusyawaratan, dan berita acara pemeriksaan; akses masyarakat untuk
memperoleh informasi yang terkait dengan putusan; serta pertanggungjawaban hakim atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.
·
Dalam
Bab XI (Bantuan Hukum), antara lain, diatur mengenai
hak setiap orang yang tersangkut perkara untuk mendapatkan bantuan hukum dan pembentukan pos bantuan hukum bagi pencari keadilan.
·
Dalam
Bab XII (Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan), antara lain, diatur
tentang upaya penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan; penyelesaian sengketa
perdata di luar pengadilan melalui arbitrase; serta penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
nego-siasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar