Oleh Akhmad Zamroni
Belajar jarak jauh secara online (Sumber: Fatih School Aceh & https://kaltim.prokal.co)
Pandemi
corona virus desease 2019 (Covid-19) yang melanda Indonesia sejak
awal Maret 2020 lalu menimbulkan dampak negatif pada kehidupan masyarakat
umumnya dan para siswa sekolah khususnya. Aktivitas pembelajaran secara tatap
muka, normal, dan offline (konvensional) dihentikan dan sebagai
gantinya pembelajaran dilakukan secara
jarak jauh dengan model online (daring). Hal ini membawa implikasi berantai
yang berat tidak hanya pada aktivitas pembelajaran siswa dan sekolah, melainkan
juga pada etos dan disiplin belajar siswa serta pada beban tambahan pekerjaan
dan biaya yang ditanggung orang tua.
Meskipun
terlihat canggih dan prestisius, pembelajaran secara online dengan smartphone terbukti kurang efektif dan tidak optimal.
Penyerapan ilmu melalui pendekatan saintifik untuk mencapai/meraih empat
kompetensi yang diamanatkan Kurikulum 2013 (kompetensi pengetahuan, kompetensi sikap
sosial, kompetensi sikap spiritual, dan kompetensi keterampilan) jauh dari
ekspektasi yang dicanangkan. Alih-alih meraih empat kompetensi, selain
penyampaian dan penguasaan materi jauh dari target, pembelajaran secara online
ternyata justru menimbulkan dampak tidak menguntungkan pada emosi dan
psikis siswa, selain juga menimbulkan beban baru yang berat pada orang tua.
Waktu
luang siswa di rumah yang sepintas menjadi jauh lebih banyak dibandingkan
dengan saat berlangsungnya pembelajaran normal (tatap muka) umumnya tidak
membuat siswa merasa lebih enjoy dan gembira, melainkan justru lebih sering
merasa jenuh dan bahkan stres. Hal ini terjadi karena tugas yang diberikan guru
dan sekolah menjadi jauh lebih banyak dan berat dibandingkan sebelumnya, pengerjaan
tugas hampir sepenuhnya dilakukan secara mandiri tanpa pendampingan dan
pemfasilitasan oleh guru, serta pengerjaannya pun dilakukan hanya berkutat di
rumah selama berbulan-bulan tanpa berinteraksi langsung dengan teman dan guru,
sementara di sisi lain penyampaian materi pelajaran oleh guru sangat minim dilakukan
sehingga siswa tidak mengalami transfer
of knowledges and skills yang semestinya.
Secara
psikologis, hal itu menyebabkan siswa menjadi tertekan dan “menderita”.
Akibatnya, mereka kemudian menjadi sangat enggan (malas) untuk belajar dan
mengerjakan tugas dari sekolah dengan konsekuensi tugas-tugas yang terbengkalai
akhirnya dikerjakan dan diselesaikan orang tua. Adapun secara akademis, siswa
menjadi lebih “bodoh” dan tertinggal karena transfer
of knowledges and skills melalui
pembelajaran dengan pendekatan saintifik tidak berjalan normal. Terhadap dampak
yang kedua ini, para orang tua tidak dapat berbuat banyak selain
mengembalikannya kepada guru dan sekolah sebagai pihak yang paling bertanggung
jawab.
Pangkal
semua problematikanya adalah pandemi Covid-19 tidak kunjung dapat diatasi
sehingga kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan guru dan sekolah. Apa yang
terjadi di dunai pendidikan Indonesia itu tampaknya juga terjadi di hampir
semua negara lain di dunia. Selama pandemi Covid-19 belum berakhir dan
pembelajaran tetap berlangsung secara online,
sudah hampir dapat dipastikan bahwa kita kehilangan waktu sekian tahun untuk
menjalankan aktivitas pendidikan secara normal, baik, dan benar sehingga selama
itu pula para siswa sekolah mengalami stagnasi kompetensi serta kemandekan perkembangan
akademis dan psikologis –– jika tidak dapat dikatakan mengalami
kemunduran yang memprihatinkan.
Hal
yang perlu dilakukan adalah memikirkan dengan serius untuk menebus dan
memulihkan kembali kompetensi serta perkembangan akademis dan psikologis para
siswa dengan pendidikan yang tepat dan berdaya guna pada waktu-waktu lain yang
akan datang setelah pandemi Covid-19 berakhir dan kehidupan kembali normal.
Namun, kapan pandemi Covid-19 dapat diatasi serta kehidupan sosial dan
aktivitas akademik sekolah dapat berjalan normal kembali?