Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: kintakun-collection.co.id |
Munir
memiliki nama lengkap Munir Said Thalib. Lelaki keturunan Arab ini lahir di
Malang, Jawa Timur, pada 8 Desember 1965, dan meninggal dunia pada 7 September
2004 dalam perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda. Munir adalah anak
keenam dari tujuh bersaudara. Munir beristrikan Suciwati, wanita Jawa yang
pernah ia advokasi dalam sebuah sengketa perburuhan. Pernikahan kedua sejoli
ini menghasilkan dua orang putra.
Munir menyelesaikan
pendidikan sarjananya (S-1) di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Munir
aktif berorganisasi semenjak di bangku kuliah. Selama kuliah, ia menjadi ketua
Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan aktif dalam HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam). Munir juga menjadi Sekretaris Tim Pencari Fakta Forum
Indonesia Damai serta sekretaris Al-Irsyad Kabupaten Malang (1988).
Kepedulian
Munir pada masalah-masalah kemanusiaan membawanya pada gerakan memperjuangkan
perbaikan HAM (hak asasi manusia) di
Indonesia. Sebagian besar waktu hidupnya kemudian ia curahkan untuk melakukan
upaya pendampingan dan advokasi para korban pelanggaran HAM serta kampanye perlindungan,
penegakan, dan pemajuan HAM. Untuk menunjang perjuangannya, Munir bergabung
dengan organisasi-organisasi advokasi hukum dan HAM, seperti Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI, 1996-1998) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras, 1998-2001). Jabatan terakhirnya, sebelum meninggl, adalah
Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
A.
Pejuang dan Pahlawan HAM
Nama
Munir mulai populer sebagai aktivis pembela HAM pada paruh kedua dasawarsa
1990-an. Di tengah kehidupan yang represif akibat perilaku rezim Orde Baru yang
otoriter, Munir menjadi kuasa hukum beberapa tokoh yang terkenal kritis dan
vokal terhadap Orde Baru, seperti George Aditjondro, Muchtar Pakpahan, Sri
Bintang Pamungkas, dan Coen Husen Pontoh. Ia juga memberikan advokasi hukum
untuk masyarakat Tanjungpriok, Jakarta, dan masyarakat Nipah, Madura, yang
menjadi korban penindasan militer Orde Baru.
Popularitas
Munir kian meroket setelah pada kurun waktu 1997-1998 ia menjadi kuasa
hukum untuk 24 orang aktivis prodemokrasi dan proreformasi. Ke-24 aktivis
tersebut merupakan korban penculikan, penyekapan, penyiksaan, dan penghilangan paksa
yang dilakukan oleh militer Orde Baru -- sebagian dari korban dapat
diselamatkan, tetapi sebagian besarnya hingga saat ini hilang dan tak diketahui
nasibnya. Ketika itu, Munir menjadi pembela dan pejuang HAM yang paling vokal
dan menonjol.
Sebagai koordinator
Kontras, pada saat itu Munir gigih memperjuangkan nasib para aktivis
prodemokrasi dan proreformasi. Di tengah ketakutan akut untuk melakukan koreksi
dan kritik terhadap kesewenang-wenangan rezim Orde Baru, Munir berani melakukan
pendampingan dan pembelaan kepada para korban penindasan rezim Orde Baru.
Dengan konsisten dan tanpa rasa takut, ia mempertanyakan keberadaan dan nasib
para korban serta meminta keadilan kepada rezim Orde Baru. Munir juga tidak
jarang melakukan kritik terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru yang melanggar
hak asasi manusia (HAM).
Keberanian
Munir berhadapan dengan rezim Orde Baru dalam urusan HAM menyebabkan dirinya
menjadi target ancaman dan teror. Teror menjadi bagian yang tak terpisahkan
dalam menjalankan tugas penegakan dan pembelaan HAM yang ia lakukan. Namun, ia
sudah kebal dengan teror; ia tetap konsisten melakukan advokasi dan pendampingan
kepada para korban pelanggaran HAM sebagai bagian upaya perlindungan dan
penegakan HAM di Indonesia.
Sumber: klikkabar.com |
Munir
terus berjuang melawan penindasan dan pelanggaran HAM sampai ajal menjemput-nya pada 7 September 2004. Munir berpulang akibat
pembunuhan. Dalam perjalanan udara Jakarta-Amsterdam untuk meneruskan studi pascasarjana dalam ilmu hukum di
Belanda, ia diracun dengan arsenik. Hasil penyelidikan dan visum kepolisian Belanda serta
sidang pengadilan memastikan, kematian Munir disebabkan oleh arsenik yang
dicampurkan ke dalam makanan yang dihidangkan kepadanya di dalam pesawat.
Sulit
dipungkiri, kematian Munir ada hubungannya dengan upaya-upaya perlindungan dan
penegakan HAM yang dilancarkannya. Publik yakin, pembunuhan terhadap Munir diakibatkan
oleh perjuangannya yang tak kenal lelah dan takut dalam melawan pelanggaran
HAM. Dalang pembunuhan diduga kuat adalah oknum mantan petinggi militer Orde
Baru.
B.
Aktivis HAM Kelas Dunia
Munir adalah aktivis HAM dengan integritas,
konsistensi, dan dedikasi sangat tinggi yang sulit dicari tandingannya di
Indonesia, tetapi hidupnya sarat dengan kesederhanaan. Ia tak pernah kehilangan
komitmen untuk mendampingi dan membela orang-orang yang hak-haknya tertindas
dan terzalimi. Ia tidak terlalu memikirkan materi, jabatan, dan fasilitas.
Saat mendapatkan hadiah 500 juta rupiah
sebagai penerima “The Right Livelihood Award”, Munir tidak menggunakan
semuanya untuk kepentingan sendiri, tetapi menyumbangkan sebagiannya untuk Kontras
(lembaga yang membesarkan namanya), serta sebagian lagi diserahkan kepada
ibundanya. Munir tidak tergoda untuk hidup mewah. Ia berangkat dan pulang kerja
dengan menggunakan sepeda motor. Munir termasuk tokoh Indonesia yang kehebatannya
diakui banyak pihak, tetapi tetap hidup dalam kebersahajaan sehingga ia sering
dikategorikan sebagai tokoh dan aktivis HAM kelas dunia.
Sumber: panel.mustangcorps.com |
Munir sudah tiada, tetapi namanya sudah lekat dengan upaya perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia. Hingga saat ini, dapat dikatakan, Munir merupakan ikon utama gerakan perlawanan terhadap pelanggaran HAM di Indonesia. Munir dinilai sangat berjasa dalam upaya perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM di Indonesia.
Atas
jasa-jasanya, Munir dianugerahi berbagai penghargaan. Pusat Studi HAM menetapkan
Munir dan Kontras sebagai penerima Yap Thiam Hien Award untuk tahun 1998,
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memberinya penghargaan Suardi Tasrif
Awards (1998). Majalah Ummat menobatkannya sebagai Man of The
Year 1998 adapun majalah Asiaweek menganugerahinya penghargaan As Leader for the Millennium (Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru, 1999). Sebuah
organisasi dari Swedia menganugerahi Munir Right Livelihood Award 2000 (Alternative Nobel Prizes) untuk
pengabdian bidang kemajuan HAM dan kontrol sipil terhadap militer serta Unesco
(PBB) memberinya penghargaan Mandanjeet Sing Prize atas jasanya mempromosikan toleransi dan
anti kekerasan (2000).