Sebagai
sistem kehidupan dan ketatanegraan, demokrasi tumbuh dan berkembang bersamaan
dengan tumbuh dan berkembangnya kehidupan dan pemikiran manusia. Kehidupan dan
pemikiran manusia mengalami perkembangan sebagai bagian dari dinamika
peradaban. Muncul dan tumbuhnya pemikiran mengenai demokrasi dilatarbelakangi dan
dipengaruhi oleh aspirasi untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan berbernegara yang lebih baik dari waktu ke waktu.
·
Bermula dari
Socrates
Pemikiran tentang demokrasi muncul kali pertama di Kota
Athena (sekarang menjadi ibu kota Yunani). Socrates, filsuf besar Yunani yang
hidup sekitar tahun 300-an SM (sebelum Masehi), dianggap sebagai tokoh pertama
yang mencetuskan ide tentang demokrasi. Menurut salah satu murid Socrates, Plato,
secara tidak langsung Socrates menjadi tokoh yang pertama melontarkan ide
tentang demokrasi, hukum, dan negara.
Socrates sesungguhnya
tidak pernah meninggalkan karya tulis yang memuat pemikiran-pemikirannya tentang
demokrasi. Namun, Socrates mengajarkan banyak gagasan progresif kepada para muridnya.
Beberapa pemikiran dan ajaran Socrates yang banyak dibahas oleh Plato, antara
lain, nilai-nilai tentang demokrasi, hukum, dan negara.
Ide-ide Socrates
mengenai demokrasi, hukum, dan negara terasa baru dan maju untuk ukuran
kehidupan ketika itu. Gagasan-gagasan reformatif Socrates bahkan dianggap
membahayakan dan merusak pikiran masyarakat (terutama kaum muda) sehingga ia
kemudian dijatuhi hukuman mati (dengan cara dipaksa minum racun) oleh penguasa
setempat. Kendatipun Socrates akhirnya wafat secara tragis,
pemikiran-pemikirannya terus hidup jauh melampaui zamannya.
Tokoh yang
berperan penting mengabadikan pemikiran Socrates adalah Plato, murid setianya.
Plato menghasilkan beberapa buku yang banyak mengupas pemikiran Socrates. Bertumpu
dari pemikiran-pemikiran Socrates, Plato mampu mencetuskan pemikiran sendiri
tentang hukum, negara, dan pemerintahan. Buku-buku penting yang ditulis Plato, di
antaranya, Politikos (tentang perihal
ahli negara), Politeia (memuat ajaran
ihwal negara dan hukum), dan Nomoi
(tentang undang-undang).
Mengupas
tentang bentuk negara atau bentuk pemerintahan, Plato menulis bahwa aristokrasi
adalah bentuk negara atau pemerintahan yang paling baik. Dalam persepsinya,
aristokrasi merupakan negara yang pemerintahannya dipegang oleh kaum cerdik
pandai (cendekiawan) yang berbakat dan bijaksana. Kaum cendekiawanlah yang
dianggap dapat menjalankan pemerintahan dengan berpedoman pada keadilan serta mampu
membawa kebahagiaan dan mewujudkan tujuan negara.
Akan tetapi, Plato
menyatakan pula bahwa pemerintahan aristokrasi bisa merosot atau jatuh menjadi
timokrasi jika regenerasi kepemimpinan atau pemerintahan dilakukan secara
turun-temurun. Pemimpin dan pemerintah baru yang memperoleh kekuasaan dengan mudah
melalui proses pewarisan (turun-temurun) dapat jatuh pada perilaku yang kurang
bertanggung jawab, mementingkan diri sendiri, serta mengabaikan keadilan dan
kepentingan umum. Dalam pemerintahan timokrasi, kebijakan penguasa ditujukan
untuk kepentingan penguasa sendiri. Kekayaan negara diambil alih menjadi milik
penguasa serta diselewengkan untuk kepentingan mereka sendiri sehingga kekuasaan
negara dapat jatuh dan dipegang oleh kaum hartawan. Implikasinya, dapat muncul undang-undang
yang diskriminatif, yang menetapkan bahwa yang berhak memegang pemerintahan
hanyalah orang-orang kaya serta pihak yang mendapat penghormatan pun hanyalah
mereka yang kaya.
Timokrasi
dapat berubah menjadi oligarki. Dalam iklim oligarki, mereka yang memegang pemerintahan,
yaitu orang-orang kaya, mempunyai hasrat atau kecenderungan untuk hidup lebih
kaya lagi. Hal ini memicu maraknya kemiskinan umum: mayoritas rakyat hidup
miskin, sedangkan para penguasa hidup kaya. Kondisi ini dapat meletupkan
kekecewaan dan amarah rakyat yang berakumulasi menjadi perlawanan dan
pemberontokan. Jika pemberontakan rakyat berhasil, pemerintahan negara akan
berpindah ke tangan rakyat. Dalam kendali rakyat, pemerintahan akan dijalankan
dengan mengutamakan kepentingan rakyat atau umum. Negara yang pemerintahannya
digenggam oleh rakyat dengan mengutamakan kepentingan umum (masyarakat luas) seperti
inilah yang kemudian disebut demokrasi.
Dalam
pemerintahan demokrasi, menurut Plato, kebebasan menjadi prinsip utama. Namun, jika
terlalu diagung-agungkan, kebebasan dapat menjadi bumerang. Di tengah pengagung-agungan
kebebasan, masyarakat dapat tergiring pada sikap menghendaki kebebasan yang sebesar-besarnya
(kebebasan absolut/mutlak) sehingga dapat terjadi anarki (kekacauan) akibat
setiap orang berperilaku sesuka hati dan tak mau diatur. Dalam kekacauan seperti itu, dapat mencuat
aspirasi bagi munculnya pemimpin yang kuat dan keras, yang diharapkan dapat
mengatasi keadaan sehingga kemudian dipilih atau ditunjuk orang yang dipandang memiliki
bakat kepemimpinan untuk memimpin pemerintahan.
Situasi itu
dapat menyebabkan pemerintahan negara berubah menjadi tirani. Pemimpin dapat berubah
menjadi penguasa yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, mengabaikan tanggung
jawab penegakan keadilan dan kebenaran, serta menyingkirkan para pesaing
politiknya. Pemerintahan tirani juga akan cenderung berupaya menekan dan
menindas rakyatnya.
Menurut Plato,
tirani merupakan corak pemerintahan negara yang paling buruk. Adapun tiran (pemimpin
pemerintahan tirani) dipandang Plato sebagai kriminal sejati yang berusaha
memuaskan semua nafsunya. Walaupun berada di puncak kekuasaan, seorang tiran
menjadi mangsa dari “syahwat”-nya sendiri sehingga sebenarnya secara tak sadar ia
menjadi makhluk yang tak bahagia serta lebih sengsara dari rakyat (yang
ditindasnya).
Plato juga
menghubungkan bentuk pemerintahan dengan undang-undang. Manakala suatu negara telah
mempunyai undang-undang, menurut Plato, bentuk pemerintahan yang terbaik adalah
monarki. Sebaliknya, jika undang-undang belum dimiliki, maka bentuk
pemerintahan yang paling baik bagi negara tersebut adalah demokrasi.
Gagasan dan pemikiran
tentang demorasi terus bermunculan dan berkembang bersamaan dengan pemikiran tentang
hukum, pemerintahan, dan negara. Salah satu murid Plato, yakni Aristoteles, dalam
pemikirannya mengenai negara, juga menyinggung demokrasi. Pada zaman Romawi
Kuno, muncul tokoh seperti Cicero dan Polybius, yang gagasannya tentang negara
dan pemerintahan secara garis besar masih dipengaruhi oleh para pemikir Yunani.
Dalam merumuskan bentuk pemerintahan yang baik, Aristoteles mengembangkan
gagasan Plato dengan berusaha mengombinasikan sistem pemerintahan monarki dan
demokrasi. Dalam pada itu, Polybius berpendapat bahwa pemerintahan yang stabil
adalah hasil kombinasi dari monarki, aristokrasi, dan demokrasi.
Gagasan dan
pemikiran mengenai demokrasi, umumnya, menjadi bagian dari pemikiran seputar negara
dan pemerintahan yang dikaitkan dengan hukum dan undang-undang. Setelah era
Yunani dan Romawi Kuno berlalu, pemikiran tentang negara dan pemerintahan terus
berkembang di Eropa. Pada abad pertengahan (abad V–XV), antara lain, muncul
pemikiran Agustinus, Marsilius, Thomas Aquinas, dan Dante. Pada zaman Renaissance
(abad XVI), mencuat nama Thomas Morus (Inggris), Niccolo Machiavelli (Italia),
dan Jean Bodin (Prancis).
Pemikiran tentang
negara, pemerintahan, hukum, dan demokrasi mengalami perkembangan dan kemajuan
pesat pada zaman berkembangnya hukum alam. Pada masa ini, dilakukan koreksi dan
reformasi (pembaruan) dalam pemikiran mengenai negara, pemerintahan, dan
demokrasi. Era berkembangnya hukum alam ditandai munculnya pemikir-pemikir seperti
Thomas Hobbes (Inggris), Hugo de Groot (Belanda), Benedictus de Spinoza (Belanda),
John Locke (Inggris), Montesquieu (Prancis), J.J. Rousseau (Prancis), dan
Immanuel Kant (Jerman). Selanjutnya, muncul juga zaman berkembangnya teori
kekuatan (kekuasaan) yang dipelopori oleh Oppenheimer, Karl Marx, Harold J.
Laski, dan Leon Duguit.
Dalam persepsi
Machiavelli, terdapat tiga unsur kekuasaan yang dapat menjaga kepentingan
rakyat, yakni kerajaan (principato),
dewan perwakilan kalangan atas (ottimati),
dan partisipasi seluruh rakyat (popolare).
Ia tidak menyebut langsung kata ‘demokrasi’. Akan tetapi, unsur ketiga dalam
gagasannya itu, yakni partisipasi seluruh rakyat, merupakan hal yang sangat
terkait dengan demokrasi.
John Locke
mengemukakan bahwa untuk mendelegasikan kepentingan rakyat, dapat diciptakan
lembaga atau organ politik yang bertugas dan berfungsi secara berbeda-beda. Locke
menggagas adanya unsur legislatif (pembuatan undang-undang dan pelaksanaan
hukum) dan yudikatif (pelaksanaan undang-undang dan hukum). Menurut pemikir
Inggris ini, pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang dipegang oleh
seorang raja yang mempunyai kekuasaan eksekutif serta didampingi sebuah parlemen
yang mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk membuat hukum dan undang-undang.
Gagasan
Locke itu dikembangkan oleh Montesqueiu dengan pemisahan tiga komponen kekuasaan,
yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemisahan yang dilakukan oleh
Montesqueiu masyhur dengan sebutan trias
politica. Prinsip ini menjadi kaidah bagi penerapan sistem politik modern.
Pada masa modern, trias politika diterapkan oleh banyak negara yang menganut
sistem pemerintahan demokrasi.
·
Pemikiran
Demokrasi Era Modern
Dalam perkembangan
mutakhir, tumbuh pemikiran demokrasi yang lebih luas, yang dikaitkan dengan
praktik demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam periode mutakhir
demokrasi dikaitkan dengan masalah kemiskinan dan kemakmuran serta sejumlah
persyaratan. Tokoh yang terkenal dalam periode ini, antara lain, Larry Diamond,
Joseph Schumpeter, David Held, Amartya Sen, Seymour Lipset, dan Milton Friedman.
Menurut Schumpeter,
demokrasi merupakan metode politik yang digunakan untuk memilih pemimpin
melalui mekanisme yang kompetitif. Juan Linz, Larry Diamond, dan Seymour Martin
mengemukakan bahwa sistem politik yang demokratis, antara lain, memenuhi
kriteria ini: (1) kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas di antara
individu-individu dan kelompok masyarakat, (2) partisipasi politik yang
melibatkan seluruh warga, dan (3) tingkat kebebasan sipil dan politik yang
memadai. Sementara itu, David Held mengupas demokrasi sampai pada hubungannya
dengan penegakan prinsip dasar otonomi individu. Held menyatakan, dalam
demokrasi setiap orang harus bebas dan sederajat dalam menentukan kehidupannya;
dalam arti, setiap individu harus mendapatkan hak dan kewajiban yang sama.
Adapun Amartya
Sen membahas kaitan kemiskinan dengan kebebasan, yang merupakan prinsip penting
dalam demokrasi. Sen mengemukakan bahwa kemiskinan muncul bukan karena orang
miskin tak memiliki barang, tetapi karena ruang kapabilitas yang mereka miliki
kecil. Orang menjadi miskin karena mereka ‘tidak mampu melakukan sesuatu’,
bukan karena mereka ‘tidak mempunyai sesuatu’. Oleh karena itulah, kebebasan
menjadi faktor yang sangat berarti, kebebasan merupakan syarat utama yang
memungkinkan orang (miskin) mampu melakukan tindakan untuk memiliki sesuatu.
Dalam hal ini, demokrasi memiliki makna yang kontekstual. Demokrasi yang mengusung
kebebasan serta keberadaan lembaga-lembaga yang demokratis akan menyediakan
ruang dan kesempatan yang luas bagi seluruh warga negara untuk mengakses dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Dalam
pandangan Milton Friedman, kebebasan politik berkaitan erat dengan kebebasan
ekonomi. Friedman, yang meraih Nobel bidang ekonomi mengemukakan, demokrasi
merupakan hasil dari perkembangan pasar bebas yang dioperasikan oleh kapitalisme.
Ia berkesimpulan bahwa pengembangan lembaga-lembaga ekonomi yang berkarakter
kapitalis menjadi syarat yang harus dipenuhi dalam usaha melaksanakan sistem
poltik yang demokratis.
Pendapat
Friedman didukung oleh Seymour Lipset. Lipset percaya, hanya negara-negara
makmur yang akan mampu melaksanakan sistem politik yang demokratis. Ia menyatakan
bahwa negara-negara yang demokratis umumnya merupakan negara-negara yang
tingkat kemakmurannya tinggi. Kian makmur suatu negara, akan kian besar
kesempatan dan kemampuannya dalam mempertahankan demokrasi.