Selasa, 23 Juli 2019

Oposisi untuk Demokrasi


Oleh Akhmad Zamroni

Oposisi (Sumber: https://bit.ly/2YQZhn)

Seusai Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan kubu pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (27 Juni 2019) terkait perselisihan hasil pemilihan presiden 2019, langsung merebak pernyataan dari berbagai pihak mengenai pentingnya rekonsiliasi serta dibentuknya koalisi yang menyertakan kubu Prabowo-Sandi dan Jokowi-Amin dalam pemerintahan baru periode 2019­-2024.

Keinginan dan harapan terbentuknya koalisi besar yang, terutama dapat menggabungkan PDI-P dan Gerindra dalam pemerintahan, makin berembus kuat setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi menetapkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai calon presiden dan wakil presiden terpilih yang sah untuk periode 2019-2024 (30 Juni 2019).

Dalam pidatonya sesaat setelah penetapan oleh KPU itu, Jokowi sendiri secara eksplisit juga mengajak Prabowo-Sandi untuk bersama-sama (Jokowi-Amin) membangun Indonesia. Sebelum dan sesudahnya, Jokowi juga beberapa kali memberikan isyarat kepada kubu Prabowo-Sandi untuk melakukan rekonsiliasi guna mencairkan ketegangan serta bersatu untuk memperbaiki dan memajukan Indonesia.

Beberapa politisi baik dari kubu Jokowi-Amin maupun Prabowo-Sandi menanggapi positif harapan, keinginan, dan ajakan dibentuknya koalisi yang menggabungkan kekuatan-kekuatan besar di kubu 01 (Jokowi-Amin) dan kubu 02 (Prabowo-Sandi) demi mengakhiri ketegangan dan keterbelahan bangsa serta terwujudnya rekonsiliasi dan persatuan untuk kepentingan bangsa dan negara.

Menjadi oposisi (Sumber: lamanberita.co)

Kemungkinan dan peluang terbentuknya koalisi besar tersebut kian terbuka lebar setelah Jokowi dan Prabowo bertemu dan berbicara langsung secara nonformal di stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta. Sinyal-sinyal terjalinnya rekonsiliasi dan pembentukan koalisi pun makin hari frekuensinya makin kuat dan konstan.

Seperti layaknya momentum politik, setelah kontestasi pemilihan presiden berakhir, para politisi berhamburan keluar untuk melakukan manuver dan negosiasi. Kepentingan, dari yang pragmatis hingga yang idealis, akhirnya menggiring para kontestan dan kompetitor untuk saling melakukan kompromi.

Manuver, negosiasi, dan kompromi yang dilakukan atas nama kepentingan sering sekali menyebabkan tak terselesaikan dan tak tuntasnya sejumlah pekerjaan penting seusai digelarnya pesta demokrasi. Salah satunya yang krusial adalah menjaga kesinambungan demokrasi dengan mempertahankan mekanisme checks and balances  sistem pemerintahan (ketatanegaraan) dengan memelihara dan merawat oposisi.

Rekonsiliasi untuk menjaga keutuhan dan kondusivitas serta koalisi untuk menciptakan pemerintahan (eksekutif) yang kuat, kredibel, dan stabil memang penting. Namun, mewujudkan oposisi yang berintegritas di parlemen serta secara konsisten mampu mengawasi dan mengontrol pemerintahan juga sama pentingnya.

Pemerintahan yang dijalankan tanpa oposisi yang memadai dapat menyebabkan demokrasi mengalami anomali: memicu lahirnya kebijakan publik yang mengabaikan aspirasi dan kepentingan rakyat (tidak prorakyat), merangsang terjadinya kesewenang-wenangan (otoritarianisme), mendorong munculnya pelanggaran hak asasi manusia, menyuburkan tumbuhnya KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme), serta memicu munculnya sederet dampak destruktif lainnya.


Karikatur oposisi (Sumber: https://www.ilmudefinisi.com)

Sistem ketatanegaraan yang digerakkan tanpa oposisi yang mumpuni menyebabkan pemerintah (eksekutif) tidak memiliki mitra sejajar (legislatif) yang akan mengingatkan mengenai pentingnya pelaksanaan pemerintahan yang tidak bertentangan dengan Pancasila, konstitusi, undang-undang, serta kepentingan bangsa dan negara. Tanpa oposisi yang mencukupi, pemerintah dapat mengalami “amnesia” sekaligus “paranoia”: lalai akan tugas, tanggung jawab, dan kewajibannya dalam memajukan dan menyejahterakan bangsa dan negara serta dihantui ketakutan terhadap koreksi dan kritik akibat tak terbiasa menghadapi peringatan (warning) dan tekanan (pressure).

Tanpa oposisi, pemerintah merasa semua kebijakannya sudah benar serta sesuai dengan undang-undang dan konstitusi karena tak ada yang mengingatkan dan mengoreksi. Ketiadaan oposisi yang sepadan menyebabkan terjadinya kekosongan umpan balik (feedback) sebagai bahan koreksi dan revisi bagi kebijakan-kebijakan pemerintah yang keliru, tidak prorakyat, serta merugikan kehidupan bangsa dan negara.

Oposisi merupakan prasyarat tak tergantikan bagi demokrasi. Sistem demokrasi akan berjalan sesuai dengan prinsip dasarnya (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat) jika pemerintahan (apa pun pola atau formatnya: presidensial maupun parlementer) berjalan di bawah kawalan, pengawasan, dan kontrol oposisi yang sepadan di parlemen.

Oposisi sama sekali tak disinggung secara eksplisit dalam konstitusi. Namun, konstitusi kita (UUD 1945 Pasal 1 Ayat [2]) dengan jelas menetapkan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi. Selama kita mengambil bentuk demokrasi, apa pun sistem pemerintahannya: parlementer atau presidensial, oposisi menjadi salah satu komponen inti dari implemetasi demokrasi.

Oposisi akan menyebabkan parlemen (lembaga perwakilan rakyat) tidak berwajah, berhaluan, dan berpendirian seragam: pro kekuatan politik yang tengah berkuasa (pemerintah). Oposisi menjadikan parlemen (legislatif) tidak hanya menjadi “tukang stempel”, melainkan menjadi “tukang kawal” dan “tukang koreksi” bagi semua kebijakan dan sepak terjang pemerintah (eksekutif) sehingga parlemen akan senantiasa bersikap kritis dan korektif terhadap pemerintah.

Dengan parlemen yang kritis dan korektif, rakyat menjadi terwakili keberadaannya serta terwadahi hak-haknya sebagai pemegang sah kedaulatan negara. Rakyat tetap memiliki saluran di parlemen untuk mengartikulasikan aspirasi-aspirasi dan kepentingan-kepentingannya. Dan itulah urgensi oposisi bagi demokrasi: implementasi prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dapat berjalan sebagaimana mestinya karena parlemen dapat memainkan tugas dan fungsi dasarnya dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.