Oleh Akhmad Zamroni
Oposisi (Sumber: https://bit.ly/2YQZhn) |
Seusai
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan kubu pasangan Prabowo
Subianto-Sandiaga Uno (27 Juni 2019) terkait perselisihan hasil pemilihan
presiden 2019, langsung merebak pernyataan dari berbagai pihak mengenai
pentingnya rekonsiliasi serta dibentuknya koalisi yang menyertakan kubu
Prabowo-Sandi dan Jokowi-Amin dalam pemerintahan baru periode 2019-2024.
Keinginan
dan harapan terbentuknya koalisi besar yang, terutama dapat menggabungkan PDI-P
dan Gerindra dalam pemerintahan, makin berembus kuat setelah Komisi Pemilihan
Umum (KPU) secara resmi menetapkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai calon presiden
dan wakil presiden terpilih yang sah untuk periode 2019-2024 (30 Juni 2019).
Dalam
pidatonya sesaat setelah penetapan oleh KPU itu, Jokowi sendiri secara
eksplisit juga mengajak Prabowo-Sandi untuk bersama-sama (Jokowi-Amin)
membangun Indonesia. Sebelum dan sesudahnya, Jokowi juga beberapa kali
memberikan isyarat kepada kubu Prabowo-Sandi untuk melakukan rekonsiliasi guna
mencairkan ketegangan serta bersatu untuk memperbaiki dan memajukan Indonesia.
Beberapa
politisi baik dari kubu Jokowi-Amin maupun Prabowo-Sandi menanggapi positif
harapan, keinginan, dan ajakan dibentuknya koalisi yang menggabungkan kekuatan-kekuatan
besar di kubu 01 (Jokowi-Amin) dan kubu 02 (Prabowo-Sandi) demi mengakhiri
ketegangan dan keterbelahan bangsa serta terwujudnya rekonsiliasi dan persatuan
untuk kepentingan bangsa dan negara.
Menjadi oposisi (Sumber: lamanberita.co) |
Kemungkinan
dan peluang terbentuknya koalisi besar tersebut kian terbuka lebar setelah
Jokowi dan Prabowo bertemu dan berbicara langsung secara nonformal di stasiun
MRT Lebak Bulus, Jakarta. Sinyal-sinyal terjalinnya rekonsiliasi dan
pembentukan koalisi pun makin hari frekuensinya makin kuat dan konstan.
Seperti
layaknya momentum politik, setelah kontestasi pemilihan presiden berakhir, para
politisi berhamburan keluar untuk melakukan manuver dan negosiasi. Kepentingan,
dari yang pragmatis hingga yang idealis, akhirnya menggiring para kontestan dan
kompetitor untuk saling melakukan kompromi.
Manuver,
negosiasi, dan kompromi yang dilakukan atas nama kepentingan sering sekali
menyebabkan tak terselesaikan dan tak tuntasnya sejumlah pekerjaan penting
seusai digelarnya pesta demokrasi. Salah satunya yang krusial adalah menjaga
kesinambungan demokrasi dengan mempertahankan mekanisme checks and balances sistem
pemerintahan (ketatanegaraan) dengan memelihara dan merawat oposisi.
Rekonsiliasi
untuk menjaga keutuhan dan kondusivitas serta koalisi untuk menciptakan
pemerintahan (eksekutif) yang kuat, kredibel, dan stabil memang penting. Namun,
mewujudkan oposisi yang berintegritas di parlemen serta secara konsisten mampu
mengawasi dan mengontrol pemerintahan juga sama pentingnya.
Pemerintahan yang dijalankan tanpa oposisi yang memadai dapat menyebabkan
demokrasi mengalami anomali: memicu lahirnya kebijakan publik yang mengabaikan
aspirasi dan kepentingan rakyat (tidak prorakyat), merangsang terjadinya
kesewenang-wenangan (otoritarianisme), mendorong munculnya pelanggaran hak
asasi manusia, menyuburkan tumbuhnya KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme),
serta memicu munculnya sederet dampak destruktif lainnya.
Karikatur oposisi (Sumber: https://www.ilmudefinisi.com) |
Sistem ketatanegaraan yang digerakkan tanpa oposisi yang mumpuni menyebabkan
pemerintah (eksekutif) tidak memiliki mitra sejajar (legislatif) yang akan mengingatkan
mengenai pentingnya pelaksanaan pemerintahan yang tidak bertentangan dengan
Pancasila, konstitusi, undang-undang, serta kepentingan bangsa dan negara. Tanpa
oposisi yang mencukupi, pemerintah dapat mengalami “amnesia” sekaligus “paranoia”:
lalai akan tugas, tanggung jawab, dan kewajibannya dalam memajukan dan
menyejahterakan bangsa dan negara serta dihantui ketakutan terhadap koreksi dan
kritik akibat tak terbiasa menghadapi peringatan (warning) dan tekanan (pressure).
Tanpa oposisi, pemerintah merasa semua kebijakannya sudah benar
serta sesuai dengan undang-undang dan konstitusi karena tak ada yang
mengingatkan dan mengoreksi. Ketiadaan oposisi yang sepadan menyebabkan
terjadinya kekosongan umpan balik (feedback)
sebagai bahan koreksi dan revisi bagi kebijakan-kebijakan pemerintah yang
keliru, tidak prorakyat, serta merugikan kehidupan bangsa dan negara.
Oposisi merupakan prasyarat tak tergantikan bagi demokrasi. Sistem
demokrasi akan berjalan sesuai dengan prinsip dasarnya (dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat) jika pemerintahan (apa pun pola atau formatnya:
presidensial maupun parlementer) berjalan di bawah kawalan, pengawasan, dan
kontrol oposisi yang sepadan di parlemen.
Oposisi sama sekali tak disinggung secara eksplisit dalam
konstitusi. Namun, konstitusi kita (UUD 1945 Pasal 1 Ayat [2]) dengan jelas
menetapkan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi. Selama kita mengambil bentuk
demokrasi, apa pun sistem pemerintahannya: parlementer atau presidensial, oposisi
menjadi salah satu komponen inti dari implemetasi demokrasi.
Oposisi akan menyebabkan parlemen (lembaga perwakilan rakyat) tidak
berwajah, berhaluan, dan berpendirian seragam: pro kekuatan politik yang tengah
berkuasa (pemerintah). Oposisi menjadikan parlemen (legislatif) tidak hanya
menjadi “tukang stempel”, melainkan menjadi “tukang kawal” dan “tukang koreksi”
bagi semua kebijakan dan sepak terjang pemerintah (eksekutif) sehingga parlemen
akan senantiasa bersikap kritis dan korektif terhadap pemerintah.
Dengan parlemen yang kritis dan korektif, rakyat menjadi terwakili
keberadaannya serta terwadahi hak-haknya sebagai pemegang sah kedaulatan
negara. Rakyat tetap memiliki saluran di parlemen untuk mengartikulasikan
aspirasi-aspirasi dan kepentingan-kepentingannya. Dan itulah urgensi oposisi
bagi demokrasi: implementasi prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
dapat berjalan sebagaimana mestinya karena parlemen dapat memainkan tugas dan fungsi
dasarnya dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.