Sumber: belajar123.com |
Kurang lebih dalam satu dasawarsa terakhir
ini kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya PAUD (pendidikan anak usia dini)
kian tinggi. Kecenderungan positif ini, antara lain, ditandai oleh besarnya antusiasme keluarga-keluarga
muda untuk menyekolahkan putra-putri mereka yang masih berusia di bawah tujuh tahun ke
lembaga pendidikan play group (PG) dan taman kanak-kanak (TK). Untuk memanfaatkan tingginya antusiasme ini, banyak dibuka institusi pendidikan anak usia dini (PG dan TK) baru oleh
swasta dan pemerintah.
Akan tetapi, kesadaran
dan antusiasme tinggi akan pentingnya pendidikan anak usia dini yang dibarengi banyaknya pendirian institusi PAUD baru di berbagai pelosok daerah tidak
diiringi dengan
pemahaman yang holistik dan
benar mengenai PAUD. Pandangan dan gambaran
tentang PAUD di mata publik
masih relatif sama
dengan pandangan dan gambaran
mereka terhadap pendidikan pada umumnya. Peran
dan fungsi PAUD dipandang sama dengan peran dan fungsi pendidikan pada
umumnya, terutama pendidikan dasar, yaitu sebagai institusi pendidikan untuk
mengajarkan keterampilan
membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Hal yang lebih ironis lagi, pandangan yang
keliru tersebut tidak hanya tertanam pada para orang tua dan masyarakat awam, melainkan juga pada banyak sekali institusi dan pengajar (guru) PAUD serta birokrat bidang pendidikan terutama
yang berada di tingkat bawah. Mereka umumnya berasumsi bahwa lembaga PAUD
merupakan tempat pengajaran yang baik dan tepat untuk menanamkan kemampuan
(kompetensi) anak
dalam membaca, menulis, dan berhitung. Dengan anggapan umur 0–6 tahun merupakan usia emas (golden age), yakni saat otak anak berkembang
sangat cepat dan tengah peka-pekanya
menerima rangsangan, siswa
PAUD, yang umumnya berusia 3–6
tahun, bahkan tidak
jarang dipacu semaksimal mungkin oleh guru (dengan persetujuan
dan dukungan orang tua) untuk secepat-cepatnya mampu menguasai keterampilan membaca,
menulis, dan berhitung.
Keinginan orang tua dan guru untuk melihat anak pandai membaca,
menulis, dan berhitung dipengaruhi pula
oleh kebanggaan dan kesuksesan semu. Banyak guru
dan orang tua merasa bangga dan sukses manakala
sebelum anak masuk SD, sudah pandai membaca,
menulis, dan berhitung. Diperunyam lagi untuk
melanjutkan pendidikan ke sekolah dasar anak biasanya
disyaratkan untuk lulus
tes membaca, menulis, dan berhitung, banyak
orang tua dan guru makin
yakin bahwa tuntutan anak usia dini untuk mampu membaca, menulis, dan
berhitung memang tidak salah. Sebuah kesalahan lain yang menambah buruknya keadaan: tidak sedikit SD negeri maupun
swasta, termasuk yang favorit dan mahal, dalam penerimaan siswa baru memberlakukan tes
membaca, menulis, dan berhitung.
·
Menyalahi Fitrah
Aspek penting dan
mendasar dalam pendidikan anak usia dini ialah aktivitas belajar-mengajar dilakukan dengan tidak menekankan kegiatan pokok ‘belajar’, melainkan ‘bermain’. Proses belajar untuk
anak-anak peserta PAUD harus dilakukan dengan ‘menyenangkan’. Bermain adalah kegiatan yang
paling menyenangkan untuk anak-anak
usia dini sehingga bentuk implementasi pengajaran yang paling tepat untuk
mereka adalah ‘bermain sambil belajar’,
bukan sebaliknya.
Krusialnya
kegiatan bermain dalam pendidikan anak usia dini dilandasi oleh faktor perkembangan
mental dan kejiwaan anak. Mental dan kejiwaan anak usia dini (berumur 0–6 tahun) masih berada
pada tahap perkembangan awal yang sangat sensitif dan rapuh. Hal ini menyebabkan mereka secara
naluriah menjadi suka bermain
sehingga pembelajaran yang
relevan dengan
potensi mereka adalah yang memberi keleluasaan
mereka untuk melakukan berbagai bentuk permainan, bukan menuntut
mereka untuk mempelajari
terori-teori yang
memberatkan.
Oleh sebab itu, mengajar dan mendidik anak
usia dini dengan lebih menekankan dan mengutamakan kegiatan belajar di
sisi satu serta mengabaikan kegiatan bermain di sisi lain bertentangan dengan
perkembangan mental dan kejiwaan anak. Memacu anak-anak play group dan TK untuk belajar membaca,
menulis, dan berhitung (calistung) tidak hanya menyalahi fitrah, tetapi
penuh risiko dan bahkan berbahaya. Hal ini dinilai para pakar
pendidikan dan psikologi sebagai
kesalahan yang dapat mengakibatkan anak mengalami gangguan potensi dan perilaku.
Dengan kata lain, pengajaran membaca, menulis, dan berhitung untuk anak-anak usia dini (PAUD) akan menyesatkan.
Metode atau model
pembelajaran calistung untuk anak-anak PAUD
merupakan bentuk “pemerkosaan” yang tidak kondusif bagi perkembangan
mental dan jiwa anak. Mantan
Direktur PAUD Ditjen PAUDNI Kemendikbud, Sudjarwo, menyatakan bahwa pengajaran membaca,
menulis, dan berhitung untuk PAUD adalah
berbahaya karena dapat menghambat perkembangan kecerdasan mental dan menyebabkan anak memiliki mental pemberontak (mental
hectic).
·
Mengembalikan
Fungsi PAUD
Prof. Suyanto, mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
Kemendikbud, menyatakan, orang Indonesia umumnya miskin kreativitas karena otak
kanannya mengalami kerusakan akibat ketika
dalam usia dini mendapat pendidikan yang keliru (dipacu untuk mampu
membaca, menulis, dan berhitung).
Pendidikan dan pengajaran untuk anak usia dini sangat terkait
dengan persoalan sumber daya manusia. Maraknya pengajaran membaca, menulis, dan
berhitung di institusi PAUD
jelas akan
menghambat upaya
menciptakan sumber daya manusia (SDM)
Indonesia yang unggul dan kompetitif.
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa investasi
terbesar pendidikan manusia berada pada usia dini, yakni 0–6
tahun. Usia dini adalah saat yang paling
krusial menjadi sasaran pendidikan bagi pembentukan
kompetensi. Pakar perkembangan dan perilaku anak, Brazelton, mengatakan bahwa pengalaman anak pada bulan dan tahun awal
kehidupannya sangat menentukan kompetensinya
dalam menghadapi tantangan hidup serta menunjukkan semangat untuk belajar dan
sukses dalam pekerjaannya.
Oleh karena peran dan fungsinya yang penting untuk
pembentukan kompetensi dan penciptaan SDM yang unggul, PAUD harus dijalankan dengan cara yang benar. Pengajaran membaca, menulis,
dan berhitung di institusi-institusi PAUD harus diakhiri.
Pendidikan anak usia dini wajib
dikembalikan pada fungsi pokoknya sebagai pendidikan yang lebih menekankan dan mengutamakan kegiatan bermain dan bukan
kegiatan belajar dengan moto bermain
sambil belajar.