Sabtu, 04 Juli 2020

Lakon Polisi


Oleh Akhmad Zamroni

Maskot Kepolisian RI (Sumber: http://serukaltim.com) 

Dalam beberapa bulan ini polisi menjadi lakon dalam sorotan publik dan media. Setidaknya ada dua peristiwa yang menjadikannya demikian. Pertama, persidangan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan dan, kedua, kasus unggahan humor Gus Dur tentang tiga polisi jujur oleh seorang warga Maluku Utara di Facebook.

Kedua kasus itu melibatkan para polisi. Novel Baswedan adalah seorang polisi yang menjadi penyidik senior di Komisi Pemberantasan Korupsi. Dua terdakwa penyiram air keras terhadapnya juga berprofesi sebagai polisi. Warga Maluku Utara yang mengunggah humor Gus Dur sempat berurusan pula dengan kepolisian resor setempat karena humor itu bersinggungan dengan citra polisi Indonesia (lelucon Gus Dur yang dikutip dan diunggah pelaku adalah “hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng”).

Polisi tak pernah lekang menjadi lakon pembicaraan. Tugas dan tanggung jawabnya sebagai aparat keamanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat setiap hari membuat polisi menjadi salah satu subjek unggulan dalam percakapan media dan masyarakat. Hampir setiap beberapa jam atau bahkan setiap beberapa menit, kosakata ‘polisi’ disebut oleh masyarakat dan media akibat banyaknya tindak kejahatan di Indonesia yang menempatkan polisi sebagai aparat yang menanganinya.

***

Polisi dibicarakan di tengah masyarakat dengan tiga nada: rendah, sedang, dan tinggi. Orang memperbincangkan polisi dengan nada rendah dan memuji saat menilai polisi sebagai aparat penjaga keamanan dan penegak hukum yang memungkinkan masyarakat hidup tertib dan aman. Orang menceritakan polisi dengan nada sedang dan kecewa ketika menganggap polisi kurang peduli dengan nasib masyarakat kalangan bawah yang sering menjadi korban kejahatan dan diskriminasi hukum. Orang mengata-ngatai polisi dengan nada tinggi dan marah saat menganggap sebagian besar polisi adalah brengsek karena gemar melakukan pungli, kolusi, korupsi, dan konspirasi dalam penegakan hukum.

Kita tidak dapat menilai, nada mana yang paling sering diekspresikan masyarakat dalam membicarakan polisi karena survei mengenai hal itu tidak pernah dilakukan. Satu hal yang pasti adalah saat masyarakat membicarakan polisi, ketiga nada itu muncul secara berganti-ganti. Hal itu sudah menjadi rahasia umum sehingga para polisi sendiri pun, hampir dapat dipastikan, merasakan dan mengetahuinya (dan semoga juga memakluminya).

Satu hal pasti lainnya adalah tidak sedikit polisi yang masih memiliki akhlak terpuji dan integritas tinggi, selain tidak sedikit pula polisi yang masih memiliki moral dan perilaku tercela. Ada banyak polisi yang rajin beribadah, hidup sederhana, rendah hati, jujur, disiplin, serta tidak suka pungli dan korupsi, tetapi ada banyak pula polisi yang memiliki perilaku yang sebaliknya. Tidak diketahui dengan pasti mana yang lebih dominan di antara keduanya karena polling  tentang hal itu juga belum pernah dilakukan.

Untuk menunjukkan prasangka baik sekaligus memotivasi polisi agar bekerja dan mengabdi kepada masyarakat dan negara dengan lebih baik, lebih disiplin, lebih berintegritas, dan lebih berprestasi lagi, anggap saja bahwa moral dan perilaku sebagian besar polisi kita masih baik-baik saja. Bahwa sebagian polisi masih suka berbohong, pungli, korupsi, dan melakukan tindakan tercela lainnya, mereka hanya oknum-oknum yang sebagiannya sudah ditangani secara hukum oleh polisi sendiri. Polisi menghukum polisi dalam penegakan hukum adalah hal biasa karena tidak ada orang yang kebal hukum dan semua waga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.

***

Polisi buruk pelaku tindak kriminal yang dihukum mungkin jumlahnya tidak sedikit, tetapi hingga kini hampir tidak ada yang sosoknya melegenda. Sebaliknya, polisi baik yang melakukan tugas penegakan hukum dengan disiplin dan integritas tinggi ada yang namanya sangat terkenal dan dikenang banyak orang. Contoh polisi dengan kategori terakhir ini adalah Novel Baswedan dan Hoegeng Iman Santoso, dua nama yang sudah disinggung pada awal tulisan ini.

Novel dan Hoegeng adalah dua polisi fenomenal. Tanpa berkeinginan menjadi terkenal, mereka secara alamiah menjadi termasyhur dengan sendirinya karena integritas dan prestasinya. Media memberitakannya dengan citra yang positif, sementara masyarakat menerima dan mengapresiasinya dengan gembira, bangga, dan penuh rasa syukur.

Masyarakat Indonesia mungkin menggumam dengan penuh rasa kagum: di tengah banyaknya aparat hukum, pejabat negara, dan wakil rakyat yang hidup bermewah-mewahan serta gemar melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, masih ada polisi yang hidup penuh kesederhanaan, penuh pengabdian, serta menjalankan tugas dan kewajiban profesi dengan moralitas dan integritas tinggi. Banyak orang juga mungkin merasa takjub: Novel dan Hoegeng mempraktikkan semua itu dengan alami dan tanpa dibuat-buat; mereka melakukannya karena tuntutan hati nurani akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum.

Kita juga perlu mengacungkan dua jempol kepada keduanya karena mereka konsisten dan tak pandang bulu menjalankan tugas penegakan hukum meski harus kehilangan hal-hal penting dalam hidupnya. Hoegeng kehilangan jabatan sebagai Kapolri akibat dicopot Presiden Soeharto gara-gara tak kenal kompromi dalam membongkar kasus-kasus kejahatan yang melibatkan keluarga pejabat dan keluarga Soeharto sendiri. Novel bahkan kehilangan mata kirinya (buta) gara-gara tak kompromi dalam membongkar kasus korupsi yang melibatkan pejabat Polri.

***

Saya menulis dengan penuh keheranan, mengapa polisi unggul seperti Hoegeng dan Novel justru mengalami hal-hal ironis dalam kariernya. Prestasi mereka yang cemerlang secara linear seharusnya diikuti perjalanan karier yang lancar dan sukses hingga ke puncak. Setelah menjadi Kapolri, Hoegeng seharusnya menjadi presiden RI. Setelah menjadi penyidik KPK, Novel seharusnya menjadi ketua KPK atau Kapolri untuk kemudian (kelak) juga menjadi presiden RI.

Jika dikatakan bahwa Indonesia masih dipenuhi KKN yang tak habis-habis, dikangkangi banyak politikus busuk yang tak kunjung insyaf, dikacaukan pengusaha-pengusaha rakus yang tak kenal rasa puas, dan disesaki aparat penegak hukum korup yang tak kunjung bertobat, harusnya pribadi bersih, jujur, tegas, dan tak pandang bulu dalam menegakkan hukum seperti Hoegeng dan Novel dapat menjadi pemimpin di negeri ini. Entah bagaimana SOP-nya, polisi luar biasa seperti mereka seharusnya bisa menjadi pemimpin puncak agar hal-hal negatif yang terus-menerus dikeluhkan di atas bisa diakhiri. Bukankah untuk membersihkan lantai yang kotor diperlukan sapu yang bersih?

Saya juga tak habis pikir, mengapa polisi seperti Novel dan Hoegeng hanya mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat, tetapi sangat minim memperoleh support dari korps dan atasannya. Tidak hanya tidak mendapat sokongan, Novel dan Hoegeng justru mendapat perlakuan yang kurang semestinya dari korps dan atasannya. Bahkan Novel sampai mendapat teror ekstrem dari sejawatnya hingga mata kirinya buta.

Tragisnya nasib polisi baik oleh perlakuan ironis korps dan atasannya sudah cukup menggambarkan citra penegakan hukum dan kepolisian di negeri kita. Tanpa dibeberkan secara mendalam dengan rujukan teori hukum dan moral yang canggih pun masyarakat sudah dapat menerka apa yang terjadi dalam dunia penegakan hukum dan kepolisian kita. Tanpa dijelaskan panjang lebar dengan berbagai pertimbangan politik, sosial, dan budaya pun masyarakat kiranya sudah dapat membuat kesimpulan sendiri tentang keadaan hukum dan korps baju cokelat.

***

Lakon Hoegeng dan Novel seharusnya seperti lakon sandiwara yang menjadikan tokoh protagonisnya mengalami kejadian menyenangkan dan meraih kemenangan pada akhir cerita. Namun, sayangnya, lakon mereka “dipentaskan” di panggung dunia nyata Indonesia. Di panggung drama, sutradara bisa mementaskan lakon menyenangkan sesuai dengan keinginan dan selera para penontonnya, tetapi di dunia nyata negeri kita lakon polisi jujur mendapat dukungan formal dari institusi internal dan infrastruktur negara masih sangat sulit direalisasi.

Lakon polisi tampaknya akan terus menjadi perbincangan publik dan media dengan perspektif dan tendensi yang berbeda-beda. Ibarat lakon drama yang dipenuhi peristiwa kejahatan, polisi adalah tokoh utama yang diidam-idamkan penonton untuk mampu memberantas kejahatan serta meringkus para penjahat tanpa melakukan salah tangkap dan apalagi menangkap atau mengucilkan teman sendiri yang menjalankan tugas dengan benar. Jika hal terakhir ini yang terjadi, tentu saja, penonton (masyarakat) akan meninggalkan gedung pertunjukan dengan rasa kecewa dan cerita penegakan hukum Indonesia akan dipenuhi tragedi ketidakadilan yang tiada habis-habisnya.

Allaahu a’lam bissawaab.

________________________________________________


Police Role 

By Akhmad Zamroni


In recent months the police have been acting in the public and media spotlight. There are at least two events that make it that way. First, the trial of the hard watering case against Baswedan Novels and, second, the case of Gus Dur's humorous upload of three honest police officers by a North Maluku resident on Facebook.

Both cases involved the police. Novel Baswedan is a police officer who is a senior investigator in the Corruption Eradication Commission. Two defendants who used hard water to him also worked as police. The people of North Maluku who uploaded Gus Dur's humor had also dealt with the local resort police because the humor intersected with the image of the Indonesian police (Gus Dur's jokes cited and uploaded by the perpetrators were "there are only three honest police officers in Indonesia, namely a statue of a police officer, a sleeping police officer, and General Hoegeng").

The police have never been cracked up in conversation. His duties and responsibilities as a security apparatus that is in direct contact with the community every day makes the police one of the leading subjects in media and public conversation. Almost every few hours or even every few minutes, the vocabulary 'police' is referred to by the public and the media due to the many crimes in Indonesia that put the police as the apparatus handling it.

***

The police are discussed in the community in three tones: low, medium and high. People talk about the police in a low tone and praise when assessing the police as security guards and law enforcement officers who allow people to live orderly and safe. People tell the police in a moderate tone and are disappointed when they think that the police are less concerned with the fate of the lower classes who are often victims of crime and legal discrimination. People say the police with a high tone and anger when they think that most of the police are jerks because they love extortion, collusion, corruption, and conspiracy in law enforcement.

We cannot judge which tone is most often expressed by the public in discussing the police because the survey on this matter has never been conducted. One thing that is certain is that when people talk about the police, the three tones emerge alternately. It has become common knowledge that even the police themselves, almost certainly, feel and know it (and hopefully also understand it).

One other sure thing is that there are not a few police officers who still have high morals and high integrity, in addition to not a few police who still have moral and disgraceful behavior. There are many policemen who diligently worship, live modestly, are humble, honest, disciplined, and do not like extortion and corruption, but there are also many police who have the opposite behavior. It is not known with certainty which is more dominant between the two because polling about it has also never been done.

To show good prejudice and at the same time motivate the police to work and serve the community and the country better, more disciplined, more integrity, and more achievers, just assume that the morale and behavior of most of our police are still fine. That some police still like to lie, extortion, corruption, and carry out other despicable acts, they are only persons who have been partly handled legally by the police themselves. The police punish police in law enforcement is common because no one is above the law and all state officials have the same position before the law.

***

Bad police convicted criminals may not be insignificant in number, but until now almost no one has a legendary figure. On the contrary, good police officers who carry out law enforcement duties with high discipline and integrity are known to be well-known and remembered by many people. Examples of police with this last category are Novel Baswedan and Hoegeng Iman Santoso, two names that were alluded to at the beginning of this paper.

Novel and Hoegeng are two phenomenal cops. Without wanting to be famous, they naturally become famous by themselves because of their integrity and achievements. The media reported it with a positive image, while the community accepted and appreciated it happily, proudly, and gratefully.

Indonesian society may murmure with admiration: in the midst of the large number of legal apparatus, state officials, and people's representatives who live lavishly and are fond of corruption, collusion and nepotism, there are still police who live full of simplicity, full of devotion, and carry out their duties and professional obligations with high morality and integrity. Many people may also be amazed: Novels and Hoegeng practice them naturally and without making up; they do it because of the demands of conscience for their duties and responsibilities as law enforcers.

We also need to give two thumbs up to both because they are consistent and indiscriminately carry out law enforcement duties despite having to lose important things in their lives. Hoegeng lost his position as National Police Chief due to being removed by President Soeharto because of his uncompromising compromise in uncovering criminal cases involving the families of officials and Suharto's own family. Novel even lost his left eye (blind) because of uncompromising in exposing corruption cases involving Polri officials.

***

I wrote in amazement, why the superior police like Hoegeng and Novel actually experienced ironic things in their careers. Their brilliant achievements in a linear fashion should be followed by a smooth and successful career journey to the top. After becoming the National Police Chief, Hoegeng should become the president of the Republic of Indonesia. After becoming a KPK investigator, Novel should become the head of the KPK or the National Police and later (later) also become the president of the Republic of Indonesia.

If it is said that Indonesia is still filled with inexhaustible KKN, surrounded by a lot of rotten politicians who are insyaf, confused by greedy businessmen who do not know any satisfaction, and are crammed with corrupt law enforcement officials who do not repent, they must be clean, honest, personal firm, and indiscriminately in enforcing laws such as Hoegeng and Novel can be leaders in this country. Somehow the SOP, extraordinary police like them should be able to be the top leaders so that the negative things that are constantly complained above can be ended. Isn't cleaning a clean broom clean?

I also can't understand why the police like Novel and Hoegeng only get sympathy and support from the community, but very little support from the corps and their superiors. Not only did they not get support, Novel and Hoegeng actually received undue treatment from the corps and their superiors. Even Novel to get extreme terror from his colleague until his left eye is blind.

The tragic fate of the police both by the ironic treatment of the corps and his superiors is sufficient to illustrate the image of law enforcement and the police in our country. Without being disclosed in depth with the reference to sophisticated legal and moral theory, the public can already guess what is happening in the world of law enforcement and our police. Without being explained at length with a variety of political, social, and cultural considerations, the community would have been able to make their own conclusions about the legal situation and the brown shirt corps.

***

Hoegeng and Novel play should be like a play that makes the protagonist experience a pleasant event and win at the end of the story. But, unfortunately, their play was "staged" on the real world stage of Indonesia. On the drama stage, the director can play fun plays in accordance with the desires and tastes of the audience, but in the real world our country honest police play gets formal support from internal institutions and state infrastructure is still very difficult to realize.

The police play will likely continue to be a subject of public and media discussion with differing perspectives and tendencies. Like a drama that is filled with crime, the police are the main characters coveted by the audience to be able to eradicate crime and arrest criminals without making wrongful arrests and let alone catch or isolate their own friends who carry out their duties properly. If this last thing happens, of course, the audience will leave the theater with disappointment and the story of Indonesian law enforcement will be filled with inexhaustible tragedies of injustice.

Allaahu a'lam bissawaab.