Oleh Akhmad Zamroni
(Sumber: https://geotimes.co.id) |
Untuk apa dan siapakah pemilu (pemilihan umum) digelar? Pertanyaan ini mengingatkan kita pada substansi
demokrasi dan kedaulatan negara. Secara sederhana, demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (sebagaimana pernah dikemukakan Abraham
Lincoln), sedangkan kedaulatan negara –– di negara bersistem
demokrasi –– berada di tangan rakyat. Sebagai hajatan yang dianggap “pesta
demokrasi”, tak bisa lain, pemilu digelar untuk mewadahi aspirasi dan
kepentingan rakyat dalam pemilihan wakil mereka di lembaga legislatif (DPRD, DPD ,dan DPR) serta memilih
kepala negara dan pemerintahan (presiden).
Negara, demokrasi, dan pemilu adalah tiga entitas yang
bersifat serbarakyat. Unsur pokok dalam negara adalah rakyat. Negara yang
menganut sistem demokrasi menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi. Adapun pemilu diadakan untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di
lembaga perwakilan rakyat (legislatif) serta pemimpin pemerintahan (eksekutif).
Pemerintahan dijalankan dengan sasaran utama menyejahterakan
rakyat. Lembaga perwakilan rakyat (DPR) memiliki tugas pokok mengawasi jalannya
pemerintahan agar tetap dalam koridor kepentingan rakyat: menjalankan program
pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat. Lembaga perwakilan rakyat
juga bertanggung jawab membuat undang-undang (legislasi) yang
berorientasi pada kepentingan rakyat selain juga berkewajiban memperjuangkan
aspirasi rakyat.
Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, terhadap para kepala
pemerintahan (bupati, walikota, gubernur, dan presiden) serta para anggota
lembaga perwakilan rakyat dilakukan penggantian secara berkala. Penggantian
dilakukan melalui mekanisme pemilu (pileg, pilpres, dan pilkada) yang
digelar lima tahun sekali. Melalui pemilu, rakyat dipersilakan menentukan
pilihannya atas para calon kepala pemerintahan dan anggota lembaga perwakilan
rakyat.
Sampai pada titik ini menjadi jelas, aktor sentral dalam
pemilu tak lain adalah rakyat. Sebagai aktor sentral, rakyat menjadi subjek
yang memiliki kuasa menentukan orang-orang yang akan mewakili mereka di lembaga
legislatif dan eksekutif. Mereka adalah pemegang kedaulatan negara yang
berwenang penuh untuk memilih orang-orang terbaik yang dianggap akan mampu
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan mereka.
Namun, apakah gambaran tersebut dapat kita saksikan dalam
pemilu di Indonesia? Apakah pemilu di Indonesia sudah menempatkan rakyat
sebagai aktor sentral dan subjek dengan kedaulatan yang dimilikinya? Dalam
sekian kali hajatan pemilu yang digelar di Indonesia, ternyata rakyat hampir
tidak pernah benar-benar menjadi subjek yang paling menentukan proses dan hasil
pemilu. Dalam setiap pemilu –– kecuali mungkin pemilu 1955 dan 1999 –– rakyat
tidak menjadi subjek, melainkan menjadi objek yang terkooptasi.
Pemilu 2014 dan
tampaknya juga pemilu 2019 ini menjadi
penyempurna fakta bahwa pemilu di negeri ini telah menjadikan rakyat mengalami
objektivikasi: dijadikan objek dalam kontestasi untuk meraih kekuasaan. Akibat
penyimpangan mekanisme demokrasi –– jika tak dapat dikatakan penyelewengan
sistem dan kekuasaan –– ditambah kelemahan kompetensi, rakyat tereduksi menjadi
objek yang tersubordinasi oleh partai politik dengan segala afiliasi dan
koalisinya.
Sangat maraknya money politics serta mudahnya massa rakyat tergiur iming-iming materi dalam
pemilu 2014 dan 2019 menjadi bukti kian pudarnya peran rakyat sebagai aktor dan
subjek dalam pemilu. Sebaliknya, hal yang sama memperlihatkan parpol sebagai
subjek yang memiliki kekuatan tawar makin besar di hadapan rakyat. Hubungan
rakyat dan parpol pun lalu menjadi terbalik: parpol yang seharusnya berada di
bawah kontrol rakyat kini justru mensubordinasi dan mengendalikan rakyat.
Dalam
pemilu 2014 lalu betapa rakyat menjadi massa besar yang dikontrol oleh parpol
dengan kekuatan uang; suatu hal yang dalam kadar yang tidak jauh berbeda juga
terjadi dalam pemilu 2019 ini. Dengan imbalan finansial,
rakyat digiring menjadi instrumen pendulang suara untuk meraih kursi kekuasaan.
Melalui money politics, rakyat di-fait accompli untuk
menjatuhkan pilihan pada “orang-orang asing” yang akan mewakili mereka di
lembaga legislatif. Rakyat dikondisikan untuk memilih orang-orang yang tak
mereka kenal untuk menjadi wakil mereka. Di sisi lain, para caleg yang banyak
di antaranya merupakan “orang tak dikenal” berpeluang menjadi “pilihan rakyat”
selama mampu membayar.
Objektivikasi
rakyat mengakibatkan hasil perolehan suara pemilu kurang mencerminkan pilihan
dan aspirasi rakyat yang sesungguhnya, terutama
dalam pemilu legislatif (pileg). Pilihan rakyat menjadi sering
tidak rasional dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Objektivikasi rakyat
juga menyebabkan rakyat tak kunjung melek politik serta dalam jangka panjang
dapat menimbulkan set back sangat berbahaya: tergencetnya
kedaulatan rakyat oleh otoritarianisme kekuasaan partai politik.