Selasa, 13 Februari 2018

Sudah Saatnya Diberlakukan Hukuman Mati untuk Pelaku Korupsi

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: image.vikatan.com

       Hukuman mati di Indonesia hingga kini masih menjadi pro kontra yang tak berkesudahan. Banyak aktivis hak asasi manusia (HAM) menentang hukuman mati karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai humanisme (kemanusiaan). Namun, seperti yang ditunjukkan oleh banyak survei media, tidak sedikit pula masyarakat Indonesia yang mendukung keberadaan dan pelaksanaan hukuman mati untuk para pelaku kejahatan tertentu, seperti pelaku penyalahgunaan narkoba, korupsi, dan terorisme.
       Di Indonesia penyalahgunaan narkoba, korupsi, dan terorisme selama ini memang sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kejahatan luar biasa merupakan kejahatan yang berdampak luas, mendalam, sistemik, dan dapat membahayakan eksistensi dan kelangsungan bangsa dan negara sehingga para pelakunya dikenai ancaman hukuman maksimal berupa hukuman mati. Namun, kendatipun penyalahgunaan narkoba, korupsi, dan terorisme digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, penerapan hukuman bagi para pelakunya dinilai masih mengalami ketimpangan atau kesenjangan.
       Terorisme, penyalahgunaan narkoba, dan korupsi sama-sama digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, tetapi kenyataannya baru pelaku kejahatan terorisme dan penyalahgunaan narkoba saja yang mendapat vonis dan menjalani hukuman mati. Para pelaku kejahatan korupsi (koruptor) masih terbebas dari hukuman mati. Jangankan divonis dan dieksekusi mati, para pelaku kejahatan korupsi banyak yang justru mendapat hukuman yang relatif ringan, rata-rata jauh lebih ringan dibandingkan hukuman bagi para pelaku terorisme dan penyalahgunaan narkoba. Dalam banyak kasus, para koruptor bahkan mendapatkan hukuman yang lebih ringan daripada hukuman untuk para pelaku kejahatan biasa, seperti perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan.

·          Ketidakadilan Hukum dalam Penanganan Kejahatan Luar Biasa
       Ketimpangan itu menunjukkan bahwa pemberian nama/istilah (nomenklatur) dan penggolongan kejahatan di Indonesia masih sangat jauh dari pelaksanaan yang konsisten dan berkeadilan. Nama atau istilah yang diberikan untuk jenis kejahatan luar biasa tidak sesuai dengan hukuman yang diberikan. Pemberian hukuman kepada pelaku terorisme dan penyalahgunaan narkoba di sisi satu dan kepada pelaku korupsi di sisi lain terasa sangat diskriminatif dan tidak adil: banyak pelaku penyalahgunaan narkoba dan terorisme divonis dan dijatuhi hukuman maksimal (hukuman mati), sedangkan pelaku korupsi tidak atau belum satu pun yang memperoleh hukuman yang sama.
       Hal itu menunjukkan adanya ironi besar dan aneh dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan luar biasa di Indonesia. Kejahatan luar biasa dinilai dapat menimbulkan dampak yang hebat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tetapi penanganan hukumnya dilakukan secara berbeda-beda, terutama dalam memberikan hukuman kepada para pelakunya. Khusus untuk korupsi, secara istilah telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, tetapi praktik dan implementasi hukumnya menunjukkan dengan sangat gamblang bahwa korupsi tak lebih dari kejahatan biasa. Ini artinya, penggolongan korupsi sebagai kejahatan luar biasa cenderung sebatas lip service (pemanis bibir) saja, yang implementasinya telah menyebabkan diskriminasi dan ketidakadilan.

·          Eksekusi Mati untuk Koruptor
       Pelaku kejahatan korupsi di Indonesia sudah lebih dari layak untuk diganjar dengan hukuman mati. Para pelaku korupsi yang terbukti melakukan korupsi dalam jumlah minimal tertentu pantas untuk dihukum mati seperti yang selama ini dialami para pelaku penyalahgunaan narkoba dan terorisme. Sudah sangat gamblang bahwa korupsi termasuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga hukuman bagi para pelakunya juga tidak bisa lagi diberikan dalam bentuk hukuman yang biasa.
       Sebagai kejahatan luar biasa, korupsi harus diberantas dengan cara-cara yang luar biasa, antara lain, dengan pemberian hukuman yang luar biasa pula, yakni eksekusi mati. UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi –– Pasal 2 Ayat (2) –– dengan jelas dan eksplisit menjadikan hukuman mati sebagai vonis maksimal bagi koruptor. Undang-undang ini, di antaranya, menyebutkan bahwa korupsi yang dilakukan ketika negara tengah mengalami krisis ekonomi dan moneter, bencana alam nasional, dan kerusuhan/krisis sosial, pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati.
Korupsi juga telah menimbulkan dampak destruktif yang hebat dari segi ekonomi dan sosial sehingga para koruptor pantas dihukum mati. Korupsi menyebabkan terjadinya kesenjangan dan krisis ekonomi parah sebagaimana yang terjadi pada tahun 1997/1998 silam sehingga memicu munculnya gerakan reformasi yang meruntuhkan rezim Orde Baru yang sangat korup. Korupsi juga menjadi salah satu penyebab utama maraknya ketidakadilan sosial akut yang memicu frustrasi, kemarahan, demonstrasi masif, kerusuhan sosial, konflik, serta disintegrasi bangsa seperti yang terjadi pada masa-masa genting tahun 1998–2000.