Sumber: image.vikatan.com |
Hukuman mati di Indonesia hingga kini masih menjadi pro kontra yang
tak berkesudahan. Banyak aktivis hak asasi manusia (HAM) menentang hukuman mati karena dianggap
bertentangan dengan nilai-nilai humanisme (kemanusiaan). Namun, seperti yang ditunjukkan oleh banyak survei media, tidak sedikit pula
masyarakat Indonesia yang mendukung keberadaan dan pelaksanaan hukuman mati
untuk para pelaku kejahatan tertentu, seperti pelaku penyalahgunaan narkoba,
korupsi, dan terorisme.
Di Indonesia penyalahgunaan narkoba, korupsi, dan terorisme selama ini
memang sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kejahatan luar biasa merupakan kejahatan yang berdampak
luas, mendalam, sistemik, dan dapat membahayakan eksistensi dan
kelangsungan bangsa dan negara sehingga para pelakunya dikenai ancaman hukuman maksimal berupa hukuman mati. Namun, kendatipun penyalahgunaan
narkoba, korupsi, dan terorisme digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, penerapan hukuman bagi para pelakunya dinilai masih
mengalami ketimpangan atau kesenjangan.
Terorisme, penyalahgunaan narkoba, dan korupsi
sama-sama digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, tetapi kenyataannya baru pelaku kejahatan terorisme dan
penyalahgunaan narkoba saja yang mendapat vonis dan menjalani hukuman mati. Para
pelaku kejahatan korupsi (koruptor)
masih terbebas dari hukuman mati. Jangankan divonis dan dieksekusi mati, para pelaku kejahatan korupsi banyak yang justru mendapat
hukuman yang relatif ringan,
rata-rata jauh lebih ringan dibandingkan hukuman bagi para pelaku terorisme dan penyalahgunaan
narkoba. Dalam banyak kasus, para koruptor bahkan mendapatkan hukuman yang lebih ringan daripada hukuman untuk para pelaku kejahatan biasa, seperti perampokan, pembunuhan,
dan pemerkosaan.
·
Ketidakadilan
Hukum dalam Penanganan Kejahatan
Luar Biasa
Ketimpangan itu menunjukkan bahwa pemberian nama/istilah (nomenklatur) dan penggolongan kejahatan di Indonesia masih sangat jauh dari pelaksanaan yang konsisten dan berkeadilan. Nama atau istilah yang diberikan untuk jenis
kejahatan luar biasa tidak sesuai dengan hukuman yang diberikan. Pemberian
hukuman kepada pelaku terorisme
dan penyalahgunaan narkoba di sisi satu dan kepada pelaku korupsi di sisi lain terasa sangat diskriminatif dan tidak adil: banyak
pelaku penyalahgunaan narkoba dan terorisme
divonis dan dijatuhi hukuman maksimal (hukuman mati), sedangkan pelaku korupsi tidak atau belum satu pun yang memperoleh hukuman yang
sama.
Hal itu menunjukkan adanya ironi besar dan aneh dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan luar biasa di Indonesia. Kejahatan luar biasa dinilai dapat menimbulkan dampak yang hebat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tetapi penanganan hukumnya dilakukan secara berbeda-beda, terutama dalam memberikan hukuman kepada para pelakunya. Khusus untuk korupsi, secara istilah telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa,
tetapi praktik dan implementasi
hukumnya menunjukkan dengan sangat gamblang bahwa korupsi tak lebih dari kejahatan biasa. Ini artinya, penggolongan korupsi
sebagai kejahatan luar biasa cenderung sebatas lip service (pemanis bibir) saja, yang implementasinya telah
menyebabkan diskriminasi dan ketidakadilan.
·
Eksekusi
Mati untuk Koruptor
Pelaku kejahatan korupsi di Indonesia sudah lebih dari layak untuk diganjar
dengan hukuman mati. Para pelaku korupsi
yang terbukti melakukan korupsi dalam jumlah minimal tertentu
pantas untuk dihukum mati seperti yang selama ini
dialami para pelaku penyalahgunaan narkoba dan terorisme. Sudah sangat
gamblang bahwa korupsi termasuk kejahatan
luar biasa (extraordinary crime) sehingga
hukuman bagi para pelakunya juga tidak bisa lagi diberikan dalam bentuk hukuman
yang biasa.
Sebagai kejahatan luar biasa, korupsi harus diberantas dengan cara-cara yang luar biasa, antara lain, dengan pemberian hukuman yang luar biasa
pula, yakni eksekusi mati. UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi –– Pasal 2 Ayat (2) –– dengan jelas dan
eksplisit menjadikan hukuman mati sebagai vonis maksimal bagi koruptor. Undang-undang ini, di antaranya,
menyebutkan bahwa korupsi yang dilakukan ketika negara tengah
mengalami krisis ekonomi dan moneter, bencana
alam nasional, dan kerusuhan/krisis sosial, pelakunya dapat dijatuhi hukuman
mati.
Korupsi juga telah menimbulkan dampak destruktif yang hebat dari segi ekonomi dan sosial sehingga para koruptor pantas dihukum mati. Korupsi menyebabkan terjadinya kesenjangan dan krisis
ekonomi parah sebagaimana yang terjadi pada tahun 1997/1998 silam sehingga memicu munculnya
gerakan reformasi yang meruntuhkan rezim Orde Baru yang sangat korup. Korupsi juga menjadi salah satu penyebab utama maraknya ketidakadilan sosial akut yang memicu frustrasi, kemarahan, demonstrasi
masif, kerusuhan sosial, konflik, serta disintegrasi bangsa seperti yang
terjadi pada masa-masa genting tahun 1998–2000.