Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: belapendidikan.com |
Pada tahun 1950-an, model
atau sistem demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi liberal atau
demokrasi parlementer. Akibat belum memadainya infrastruktur politik dan sangat
minimnya pengalaman berdemokrasi, pelaksanaan demokrasi liberal menimbulkan
kekacauan dan ketidakstabilan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
berkepanjangan. Hal ini mengakibatkan Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret
Presiden 5 Juli 1959.
Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959 adalah pembubaran Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945 (untuk
menggantikan UUDS 1950), serta pembentukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara). Dalam perkembangannya,
Dekret 5 Juli 1959 menjadi penanda berakhirnya demokrasi liberal dalam sistem
ketatanegaraan atau sistem politik di Indonesia. Setelah
dekret itu berlaku, model demokrasi yang dijalankan oleh pemerintahan Presiden
Soekarno adalah demokrasi terpimpin.
Sistem demokrasi terpimpin yang dijalankan Presiden
Soekarno tidak membawa kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia menjadi makin konstitusional,
demokratis, adil, dan sejahtera. Hal ini terjadi karena sistem demokrasi
terpimpin menyebabkan pemerintahan Presiden Soekarno justru mengabaikan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi serta sebaliknya berubah menjadi
otoriter dan antidemokrasi. Bahkan, sistem demokrasi terpimpin akhirnya
menyebabkan terjadinya penumpukan dan tersentralisasinya kekuasaan (kedaulatan)
negara di tangan presiden seorang diri.
Penumpukan dan tersentralisasinya kekuasaan di tangan presiden mengakibatkan
terjadinya banyak sekali penyimpangan terhadap UUD 1945. Penyimpangan
paling menonjol yang dilakukan oleh Presiden Soekarno adalah dikeluarkannya keputusan yang disebut “penetapan presiden”
(atau penpres). Penpres dikeluarkan presiden tanpa melalui persetujuan DPR,
tetapi dijadikan peraturan yang setara dengan undang-undang (UU).
Pemberlakuan penpres merupakan tindakan yang inkonstitusional karena penpres jelas sekali bertentangan dengan UUD 1945. Sebagai
keputusan yang diberi kedudukan setingkat dengan undang-undang, penpres justru
dibuat dan dikeluarkan presiden secara sepihak tanpa persetujuan DPR. Menurut
ketentuan UUD 1945, undang-undang dibuat dan ditetapkan melalui persetujuan
bersama antara presiden dan DPR. Dalam pada itu,
penpres itu sendiri pun banyak yang di antaranya dikeluarkan untuk mengatur
hal-hal yang berada di luar kewenangan presiden. Misalnya, dikeluarkan untuk
membentuk MPRS (Penpres No. 2/1959), membentuk DPAS (Penpres No. 3/1959),
membubarkan partai politik (Penpres No. 7/1959), dan membubarkan DPR (Penpres
No. 3/1960).
Akibat terlalu besarnya kekuasaan dan otoriternya presiden,
lembaga-lembaga tinggi negara –– terutama MPRS, DPR, dan DPAS –– juga mengalami
krisis fungsi dan kedudukan. Pembentukan ketiga lembaga negara tersebut
dilakukan dengan penpres serta keanggotaannya pun ditunjuk
atau dipilih oleh presiden sehingga ketiganya praktis berada di bawah kendali presiden.
Keputusan-keputusan ketiga lembaga tersebut juga lebih banyak dikeluarkan untuk
mendukung kepentingan presiden serta memperkuat kedudukan presiden, bukan untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan
negara. Sebagai contoh, salah satu ketetapan MPRS (Tap No. III/MPRS/1963)
dikeluarkan untuk mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut menunjukkan
dengan gamblang bahwa demokrasi sebagai sistem ketatanegaraan sama sekali tidak
berjalan serta pengelolaan pemerintahan berlangsung secara inkonstitusional.
Akibatnya, kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami kekacauan. Krisis
politik, hukum, ekonomi, dan sosial pun kemudian tidak dapat dihindarkan. Dan
akibat desakan rakyat yang dipelopori oleh mahasiswa dan pelajar, pada paruh
kedua dasawarsa 1960-an, pemerintahan Presiden Soekarno –– yang populer dengan
sebutan pemerintahan Orde Lama –– akhirnya runtuh. Sebagai gantinya,
pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tampil memegang
tampuk kekuasaan.
Pemerintahan Presiden Soeharto meneruskan kendali
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 dengan murni dan konsekuen. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
konstitusi, demokrasi pun hendak kembali ditumbuhkembangkan sejalan dengan
nilai-nilai dasar negara, Pancasila. Sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan
rakyat, demokrasi hendak dijalankan dengan berlandaskan pada nilai-nilai yang
terkandung dalam sila Pancasila. Maka, demokrasi yang kemudian hendak
dilaksanakan itu mendapat sebutan “demokrasi Pancasila”.
Melalui Tap MPRS No. XXXVII/1968 dan diperkuat
dengan Tap MPR No. I/1978, demokrasi Pancasila dijadikan sistem ketatanegaraan
untuk menjalankan roda pemerintahan. Pemerintahan Presiden Soeharto –– yang
mengklaim diri sebagai pemerintahan Orde Baru –– bertekad melaksanakan
demokrasi Pancasila sebagai koreksi atas sistem demokrasi (terpimpin) yang
dijalankan oleh pemerintahan Orde Lama. Demokrasi Pancasila dianggap lebih
sesuai dengan dasar negara dan konstitusi sehingga lebih menjamin pelaksanaan
kedaulatan rakyat.
Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto sendiri akhirnya juga menjelma
menjadi pemerintahan yang otoriter serta masif dalam melakukan korupsi dan pelanggaran
berat hak asasi manusia. Namun, terlepas dari hal itu, sistem demokrasi
Pancasila merupakan model demokrasi khas Indonesia yang lebih sesuai dengan
karakteristik, kultur, ideologi, dan filosofi bangsa Indonesia. Substansi demokrasi Pancasila, selain berkorelasi dengan ideologi dan dasar negara
(Pancasila) serta konstitusi negara (UUD 1945), juga berelevansi dengan
kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia jauh sebelum negara
Indonesia terbentuk.
Pelaksanaan demokrasi Pancasila dilandasi oleh
asas gotong royong dan kekeluargaan serta pengamalan sila-sila dalam Pancasila.
Menurut sistem ini, pengambilan keputusan dilakukan semaksimal mungkin melalui
musyawarah dalam upaya mencapai mufakat. Jika dengan cara ini keputusan tidak
dapat diambil, dapat dilakukan pemungutan suara (voting) dengan keputusan akhir didasarkan pada suara terbanyak.
Adapun keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan serta tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Demokrasi Pancasila menempatkan kepentingan
bangsa dan negara serta hak warga negara pada kedudukan yang tinggi.
Berdasarkan demokrasi Pancasila, kepentingan umum lebih diutamakan daripada
kepentingan individu dan golongan. Pelaksanaan demokrasi Pancasila merupakan
bentuk pengakuan terhadap hak asasi manusia sekaligus hak demokrasi warga
negara (rakyat). Lebih khusus dan terperinci, demokrasi Pancasila memilili
ciri-ciri sebagai berikut.
Sistem demokrasi Pancasila tidak jauh berbeda
dengan sistem demokrasi pada umumnya dalam menempatkan rakyat. Demokrasi
Pancasila tetap memposisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam
negara. Aspirasi dan kepentingan rakyat menjadi dasar bagi pelaksanaan
pemerintahan negara.
Demokrasi Pancasila menggunakan sistem
perwakilan. Kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui wakil-wakil rakyat yang
duduk dalam lembaga perwakilan (MPR, DPR, dan DPD). Melalui para wakilnya di
lembaga perwakilan, rakyat juga ikut serta dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam pengambilan keputusan, demokrasi Pancasila
lebih mengutamakan musyawarah, sedangkan voting
dijadikan jalan terakhir. Inilah ciri yang paling membedakan demokrasi
Pancasila dengan sistem demokrasi pada umumnya. Musyawarah yang dilakukan
dengan tenang, santun, argumentatif, dan dilandasi iktikad baik akan menghasilkan
keputusan konkret dalam berbagai bentuk, seperti undang-undang, konsensus
politik, dan umpan balik yang efektif. Keputusan seperti ini dapat menjadi
masukan bagi pemerintah dalam penyempurnaan pelaksanaan undang-undang dan
kebijakan lain serta bagi pemeliharaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
lebih sehat, dinamis, dan bermartabat.
Bagaimanakah pula kaitan demokrasi Pancasila
dengan nilai-nilai Pancasila? Substansi
atau inti demokrasi Pancasila diinspirasi oleh nilai-nilai Pancasila yang bersifat
satu kesatuan yang tak terpisahkan. Itulah sebabnya, demokrasi Pancasila
dilandasi prinsip-prinsip demokrasi yang berdasarkan “Ketuhanan
Yang Maha Esa”, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, “Persatuan
Indonesia”, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”, serta “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Berikut
ini dijelaskan kaitan antara demokrasi Pancasila dengan sila-sila yang terdapat
dalam Pancasila.
1. Demokrasi
Berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Sistem demokrasi Pancasila tidaklah bersifat
ateistis (anti-Tuhan). Demokrasi Pancasila menganut mekanisme dimensi ganda
pada manusia, yakni homo individualis
dan homo religius. Dimensi religius
mengandung pengertian bahwa pelaksana demokrasi harus mampu
mempertanggungjawabkan seluruh sikap dan perbuatannya kapada Tuhan. Dalam
demokrasi Pancasila, sikap dan perilaku saling menghargai di antara umat
beragama hendak diwujudkan.
2. Demokrasi Berdasarkan “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
Demokrasi Pancasila mengarahkan semua individu
untuk memperlakukan sesama sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
manusia. Pemaksaan, penindasan, dan segala bentuk pelanggaran hak asasi yang
lain hendak dihindarkan. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar demokrasi umumnya
yang memberi jaminan terhadap perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.
3. Demokrasi Berdasarkan “Persatuan Indonesia”
Demokrasi Pancasila mengarahkan semua warga
negara untuk menjaga dan memperkuat persatuan di sisi satu serta menghindari
pertentangan dan perpecahan di sisi lain. Pertentangan dan perpecahan dapat
menyebabkan terjadinya penindasan. Dalam demokrasi Pancasila, desentralisasi
diterapkan dengan prinsip dan bingkai kesatuan dan persatuan. Daerah-daerah
tidak dibenarkan saling bertentangan, melainkan harus bersatu untuk
mengusahakan tercapainya tujuan hidup bernegara.
4. Demokrasi Berdasarkan “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan”
Demokrasi Pancasila memiliki landasan utama kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Demokrasi Pancasila merupakan wujud kedaulatan rakyat, sedangkan pelaksanaan
kedaulatan tersebut dilakukan melalui sistem perwakilan. Adapun melalui lembaga
perwakilan selalu diutamakan adanya musyawarah (daripada voting) dalam setiap pengambilan keputusan.
5. Demokrasi Berdasarkan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
Pelaksanaan demokrasi Pancasila selalu diupayakan
dengan memperhatikan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sistem demokrasi Pancasila
tidak hanya dilaksanakan melalui kampanye dan pemilihan umum. Pelaksanaan
demokrasi Pancasila berorientasi pada dua fungsi, yakni menyejahterakan
kehidupan politik dan kehidupan ekonomi.