Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: arsipindonesia.com, upload.wikipedia.org, yapthiamhien.org |
Tidak semua orang Belanda senang dan bangga
dengan penjajahan bangsanya terhadap Indonesia, melainkan sebagian justru
antipati sehingga kemudian berpihak kepada Indonesia dan turut berjuang melawan
Belanda demi kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, kolonialisme Belanda di
Indonesia, selain melahirkan pejuang dan pahlawan pribumi asli dari Indonesia,
juga memunculkan pejuang dan pahlawan dari pihak Belanda. Mereka adalah
orang-orang asli Belanda, tetapi dianggap sebagai pahlawan Indonesia karena
menyeberang dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia walaupun harus melawan
bangsanya sendiri.
Oleh
Belanda, mereka tentu saja dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan negara,
tetapi oleh bangsa Indonesia, mereka dinobatkan sebagai pahlawan karena telah
berpihak dan berjuang untuk Indonesia dalam melawan imperialisme Belanda yang
sangat lama dan kejam. Mereka kemudian menjadi warga negara Indonesia serta
menghabiskan sisa-sisa masa hidupnya di Indonesia. Mereka rela dianggap sebagai
pengkhianat bangsanya (Belanda) demi bersimpati dan membela nilai-nilai
kemanusiaan bangsa Indonesia yang diinjak-injak Belanda melalui imperialismenya.
Salah
satu dari orang-orang Belanda itu adalah Cornelis Princen, seorang anggota tentara
Kerajaan Hindia Belanda. Princen adalah orang Belanda tulen yang menjadi
anggota militer Belanda dengan setengah terpaksa dan kurang menyukai perang. Kebrutalan
perang seringkali membuatnya tidak nyaman dan kekejaman tentara Belanda
terhadap rakyat Indonesia membuatnya tak tahan untuk lari dari barisan pasukan
Belanda untuk memihak dan berjuang bagi Indonesia.
Sumber: 1.bp.blogspot.com |
Pria bernama lengkap Haji Johannes Cornelis Princen ini lahir di Den Haag, Belanda, pada 21 November 1925 dan wafat tanggal 22 Februari 2002 akibat stroke. Princen dimakamkan di Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Saat wafat, Princen meninggalkan seorang istri dan empat orang putra.
Poncke,
demikian panggilan akrabnya, menghabiskan masa kecil dan remajanya di Belanda di
tengah suasana Perang Dunia II. Setamat sekolah dasar, ia melanjutkan studi ke
sekolah menengah seminari (1939–1943). Poncke menjadi tawanan Nazi (Jerman) ketika
Belanda diduduki pasukan pimpinan Hitler itu. Ia sempat disekap di camp konsentrasi Nazi dan dijatuhi hukuman mati,
tetapi luput dari eksekusi.
Setelah bebas dari sekapan Nazi, pada penghujung
tahun 1944 Poncke justru ditahan pemerintah Belanda akibat menolak mengikuti
program wajib militer. Kendatipun tidak menyukai perang, ia terpaksa mengikuti
dinas militer. Ia dikirim ke Indonesia untuk bergabung dalam pasukan kerajaan
Hindia-Belanda, KNIL.
1. Tidak
Menyukai Perang
Poncke merasa tersiksa oleh perang. Perang bagi
Poncke menjadi penyebab penderitaan serta penjajahan merupakan bentuk penindasan.
Di Belanda ia melihat serta merasakan sendiri kebrutalan dan kebengisan tentara
Nazi terhadap rakyat Belanda. Saat menjadi anggota militer Belanda di
Indonesia, ia melihat dan merasakan langsung kesadisan tentara Belanda terhadap
rakyat Indonesia.
Berdasarkan pengalamannya itu Poncke berkesimpulan:
Belanda tiada bedanya dengan Nazi Jerman. Keduanya, dalam pandangan Poncke,
sama-sama melakukan kekejaman dan penindasan. Hal ini menyebabkan akal sehat
dan hati nuraninya bekerja cepat untuk menggerakkannya meninggalkan pasukan
Belanda. Ia sadar, jika tetap menjadi bagian dari bala tentara Belanda, ia
merasa tak ubahnya dengan tentara Nazi yang melakukan kezaliman terhadap sesama
manusia.
Sumber: www.engelfriet.net |
Poncke pun kemudian memutuskan untuk melakukan desersi dan menyeberang ke barisan tentara Indonesia. Ia meninggalkan Jakarta pada 26 September 1948 untuk bergabung dengan pasukan TNI Divisi Siliwangi guna turut berjibaku mempertahankan Yogyakarta dari agresi pasukan Belanda. Poncke juga terlibat dalam longmarch dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Selama berbulan-bulan ia aktif dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda. Ia sempat mengalami shock ketika istrinya, yang seorang perempuan Sunda, dibunuh tentara Belanda dalam suatu pertempuran. Sang istri meninggal bersama dengan bayi yang masih berada dalam kandungannya.
Poncke
rupanya memang menjadi salah satu incaran khusus pasukan Belanda. Di negeri
asalnya pun, ia gencar mendapat kecaman, makian, dan ancaman pembunuhan akibat
berpihak kepada Indonesia. Ia dianggap sebagai pengkhianat yang pantas untuk dihabisi.
Namun, ia tiada peduli: tetap konsisten membela Indonesia.
Pada tahun 1949, Poncke menanggalkan
kewarganegaraan Belandanya serta beralih menjadi warga negara Indonesia (WNI).
Pada tahun itu pula ia mendapat anugerah Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno.
Setelah resmi menjadi warga negara Indonesia,
Poncke juga memutuskan untuk
menjadi mualaf (pemeluk Islam), dengan dalih tidak ingin tanggung-tanggung
menjadi ‘orang Indonesia', yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Beberapa tahun kemudian, Poncke menunaikan
ibadah haji ke Mekah. “Saya ingin
menjadi bagian dari negara ini. Saya melakukan yang warga lainnya
lakukan," kata Poncke dalam
sebuah wawancara.
2. Dari Serdadu Menjadi Pejuang HAM
Aktivitas Poncke selama menjadi serdadu cukup
jelas memperlihatkan keberpihakannya pada humanisme (nilai-nilai kemanusiaan). Poncke
tidak sebagaimana umumnya tentara yang lazim bertempur untuk tujuan yang kerapkali
tak jelas, selain membunuh dan menghancurkan. Ia tak bisa menghindar dari
perang karena tuntutan tugas dan hati nurani untuk membela pihak yang tertindas
(Indonesia).
Oleh karena itu, seusai perang ia ingin segera
meninggalkan dinas ketentaraan untuk mempelajari sejarah budaya atau sastra. Poncke
menulis dan mengirim surat kepada ibundanya bahwa ia tak ingin selamanya
menjadi tentara. Ia mengatakan, masih ada hal penting lain yang perlu ia lakukan.
Di kemudian hari terungkap bahwa hal penting
lain itu adalah berjuang menegakkan nilai-nilai kemanusiaan di zona “pertempuran”
yang berbeda, tidak lagi melalui perang dengan berpihak pada yang lemah dan
tertindas. Kisah hidup Poncke pun memasuki babak baru. Dari berjuang di medan pertempuran
untuk membela rakyat yang terjajah, ia ganti berjuang melalui dunia politik dan
hukum untuk menegakkan hak asasi manusia (HAM) kaum yang lemah dan
terpinggirkan.
Mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI), Poncke masuk ke gelanggang politik dengan menjadi anggota
parlemen (tahun 1956). Ia sempat menjadi salah satu figur yang populer pada tahun
1950-an, tetapi ia merasa jengah oleh dunia politik yang penuh dengan intrik
dan penyelewengan sehingga ia memutuskan untuk meninggalkannya. Ia kemudian
bersuara vokal mengkritik pemerintahan Presiden Soekarno yang memasuki akhir dasawarsa
1950-an mulai bertindak otoriter. Selama pemerintahan Presiden Soekarno, akibat
sikap kritis dan kevokalannya, Princen mengalami dua kali penangkapan dan
pemenjaraan oleh sang rezim, yakni pada tahun 1957–1958 dan 1962–1966.
Sumber: arsipindonesia.com |
Pertengahan tahun 1960-an Poncke mulai memasuki dunia hukum untuk membela orang-orang miskin dan tertindas. Ia membentuk Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (tahun 1966) serta turut mendirikan dan memimpin Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1970). Poncke juga turut membentuk Indonesia Front for Defending Human Right (1989), Serikat Buruh Merdeka Setiakawan (1990), serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (1998).
Secara pribadi, ia juga menjadi pengacara. Dalam
melakukan advokasi, ia tidak membeda-bedakan suku, ras, agama, golongan, dan
asal-usul kliennya. Mereka yang pernah menjadi klien Poncke, antara lain, masyarakat
dan mahasiswa Timor Timur (sekarang Timor Leste) yang menjadi korban penyerbuan
militer rezim Orde Baru; para mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung) yang
ditahan karena melakukan demonstrasi terhadap menentang Menteri Dalam Negeri,
Rudini (tahun 1989); dan masyarakat Muslim Tanjungpriok, Jakarta, korban pembantaian
militer rezim Orde Baru (1984). Poncke bahkan pernah mengadvokasi para mantan
anggota PKI (Partai Komunis Indonesia), mantan lawan politiknya semasa Orde
Lama, serta dan orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan PKI.
Sampai menjelang akhir hayatnya, Poncke tetap
melakukan tugas kemanusiaan. Meskipun sejak sekitar tahun 1996 menggunakan
kursi roda akibat stroke dan usia tua,
ia masih melakukan pendampingan hukum. Sekitar delapan bulan sebelum wafat, Poncke
menjadi pendamping dan penasihat hukum sekelompok masyarakat Jakarta yang
menjadi korban penggusuran Pemerintah Provinsi DKI.
Perjuangan Haji Johannes Cornelis Princen sejak
bergabung dengan TNI hingga mendirikan lembaga bantuan hukum dan menjadi
pengacara dianggap konsisten dan murni demi kemanusiaan. Oleh sebab itu, ia
dipandang layak mendapat apresiasi tinggi. Pada tahun 1992, karena dedikasinya
itu, Poncke (bersama Haji Muhidin dan Jhony Simanjuntak) mendapat anugerah Yap Thiam Hien Award, sebuah penghargaan
nasional prestisius dalam bidang penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.