Oleh Akhmad Zamroni
Pemungutan suara dalam Pemilu 2019 (Sumber: Bangka Pos/Resha Juhari) |
Nyaris tidak ada yang memperkirakan sebelumnya bahwa Pemilu 2019
akan menjadi pemilu yang memilukan dalam sejarah demokrasi modern di Indonesia.
Dengan bayangan dan ekspektasi mendapat benefit yang begitu besar karena dapat menghemat
biaya dalam jumlah yang tak kecil, kita menyambut keseluruhan rangkaian Pemilu
2019 dengan sangat antusias. Di tengah perbedaan pilihan, dengan semangat
tinggi masyarakat juga mendatangi tempat-tempat pemungutan suara (TPS) untuk menyalurkan
aspirasi tanpa berpikir panjang apa yang akan terjadi di kemudian hari.
Menggabungkan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan
legislatif (pileg) dalam satu paket Pemilihan Umum 2019, memang ide yang bagus.
Dana triliunan rupiah akan dihemat serta waktu yang dibutuhkan menjadi lebih singkat.
Dan, tentu saja, sepintas pemilu akan berlangsung lebih semarak dan menarik karena
implementasinya lebih variatif dan kaya alternatif.
Pesta
Pemilu 2019, layaknya pesta demokrasi, berlangsung dengan gairah
dan tensi tinggi. Para kandidat anggota legislatif mengikuti proses pemilihan
dengan harapan tinggi dapat meraih kursi. Partai politik berusaha keras
menguasai kursi parleman (legislatif) dengan mengoptimalkan kinerja mesin
politik dan masuk ke pemerintahan (eksekutif) melalui pembentukan koalisi.
Lebih dari semua itu, dua pasangan kandidat presiden/wakil
presiden bertarung mati-matian dan all
out untuk merebut jabatan puncak tertinggi
pemerintahan negara. Tim kampanye dibentuk dengan manajemen dan strategi
secanggih-canggihnya serta partai-partai politik peserta koalisi digerakkan
secara masif untuk mendulang suara. Semua sumber daya yang tersedia
dimanfaatkan semaksimalnya untuk mendapatkan keunggulan dan kemenangan dan
untuk semua itu dihabiskan dana sekian ratus miliar (atau bahkan triliun) untuk
membayar ongkosnya.
Dalam pada itu, di belakangnya para pendukung dan simpatisan sering
memberikan dukungan lebih dari yang diharapkan, terutama untuk kandidat
presiden/wakil presiden. Kritik dan serangan terhadap lawan tidak hanya
dilancarkan melalui panggung debat dan kampanye. Pukulan yang menjurus pada black campaign, hoax, dan fitnah sangat gencar dilancarkan melalui media sosial
oleh para pendukung keduanya secara di luar ekspektasi kelompok dan publik yang
netral.
Kotak suara Pemilu 2019 (Sumber: https://pemilu.antaranews.com) |
Sebagai penyelenggara hajatan, negara juga mengalami kerepotan dan
mengeluarkan dana yang luar biasa besarnya. Dana sekitar Rp 25 triliun
dianggarkan negara untuk membiayai Pemilu 2019. Sekitar 7,8 juta personel
direkrut untuk menjadi pengawas dan petugas KPPS (kelompok penyelenggara
pemungutan suara) serta 813.350 TPS (tempat pemungutan suara) didirikan sebagai
lokasi untuk pengambilan dan rekapitulasi suara.
Sebagai pesta demokrasi, pemilihan umum memang mengharuskan adanya
dua pihak atau lebih yang dipertemukan secara diametral dan konfrontatif.
Kampanye dan debat digelar secara terbuka untuk mengetahui keunggulan visi,
misi, dan platform para kandidat guna menarik dukungan dan
meraih suara rakyat. Rivalitas, kompetisi, dan duel untuk menjadi yang lebih
baik dan lebih unggul dengan cara yang elegan dan fair memang diperlukan dalam
pesta demokrasi yang berwujud pemilihan umum agar para pemilih (dan tentu saja
juga semua komponen bangsa) mengetahui kandidat yang terunggul dan terbaik
untuk menjadi wakil rakyat (anggota legislatif) serta menjadi kepala
pemerintahan dan kepala negara (presiden).
Maka sempurnalah, Pemilu 2019 menjadi pesta demokrasi terbesar dan
paling spektakuler dalam sejarah politik Republik Indonesia. Di tingkat global,
Pemilu 2019 disebut-sebut menjadi pesta demokrasi terbesar ketiga di dunia ––
setelah India dan Amerika Serikat. Adapun dari tingkat kompleksitasnya, Pemilu
2019 bahkan diakui para pengamat asing sebagai pemilu yang paling rumit dan
paling sulit di dunia.
Tragedi
Namun, Pemilu 2019 juga akan dicatat sebagai pemilu yang paling
tragis dalam sejarah republik kita. Sampai dengan hari Jumat, 3 Mei 2019, pukul
20.18 WIB, jumlah pengawas dan petugas KPPS yang meninggal dunia sudah mencapai
424 orang, petugas yang sakit dan menjalani perawatan tercatat lebih 3.668
orang, sebagian mengalami
depresi dan mencoba bunuh diri, serta penjaga TPS dari kepolisian yang
meninggal 15 orang. Deretan jumlah korban ini kemungkinan masih akan bertambah
lagi.
Untuk ukuran sebuah pesta, jumlah korban sebanyak itu jelas terasa
sangat ganjil, kontradiktif, dan ironis. Jangankan sampai ratusan orang
meninggal dan ribuan lainnya sakit, satu orang saja meninggal dunia untuk
sebuah pesta akan terasa luar biasa. Pesta merupakan tempat kita merayakan hari
penting, bergembira, serta bersama-sama menikmati suasana dengan penuh
kedamaian dan kemeriahan sehingga jika di dalamnya terjadi insiden dan kematian
menjadikannya seolah-olah tak bermakna dan sia-sia.
Apa yang akan Anda kenang dari sebuah pesta yang diwarnai kematian
selain justru Anda ingin cepat-cepat melupakannya? Orang-orang yang sakit dan meninggal
karena kelelahan akibat overload pekerjaan itu bahkan bukan dari peserta pesta
yang akan menikmati jabatan dan keuntungan lain dari kemenangan yang diraih,
melainkan justru para pekerja yang paling menentukan kelancaran dan kesuksesan
pesta berlangsung. Tanpa mereka, tidak akan pernah ada pesta demokrasi yang
bernama pemilihan umum.
Tidak sejak awal diantisipasi oleh negara segala kemungkinan terburuk
yang akan dialami para pekerja demokrasi itu. Penggabungan pilpres dan pileg
menjadi satu paket pemilu jelas akan menghemat biaya, tetapi membuat beban
pekerjaan di pundak para pekerja justru menjadi bertambah hampir dua kali lipat.
Mereka harus menghitung dan merekapitulasi hasil pemungutan suara untuk pileg
dan pilpres sekaligus. Energi yang dikeluarkan menjadi jauh lebih besar dan
durasi penyelesaian pekerjaan menjadi jauh lebih lama sehingga tidak ada
konsekuensi lain yang terjadi pada fisik para pekerja selain kelelahan luar
biasa serta ancaman sakit dan kematian.
Di luar itu, para pekerja masih mendapat tekanan psikis yang tidak
ringan dari kontestan pemilu dan para pendukungnya. Ledakan ketidakpuasan salah
satu kubu kandidat presiden/wakil presiden akibat ketertinggalan penghitungan
suara melalui hitung cepat (quick count)
dilampiaskan dengan melancarkan tuduhan kecurangan terhadap KPU dan para
pekerja di lapangan. Tuduhan kecurangan yang disertai makian, fitnah, dan
hujatan yang gencar diberondongkan melalui berbagai saluran itu –– terutama
melalui media sosial –– menimbulkan kekecewaan dan rasa sakit di kalangan para
pekerja lapangan (periksa kolom “Tuduhan Penyelenggara Pemilu Curang Itu
Menyakitkan”, Gandha Prabowo, detik.com, 24 April 2019, dan “Mengevaluasi
Pemilu Serentak 2019”, Muhammad Sufyan Abd., detik.com, 26 April 2019).
Petugas KPPS di TPS 73 Lebak Bulus, Jakarta Selatan, tampil dengan dandanan mayat dalam Pemilu 2019 (Antara Foto/Muhammad Adimaja) |
Tuduhan kecurangan terhadap KPU tanpa bukti yang meyakinkan
menjadi hal tragis lain yang terjadi dalam Pemilu 2019. Tuduhan karena
kekecewaan akibat tertinggal perolehan suara dari penghitungan yang belum
benar-benar selesai menunjukkan perilaku emosional yang tidak dewasa dan
bertentangan dengan demokrasi. Selain terasa menyakitkan bagi KPU dan para
pekerjanya sebagai penyelenggara pemilu independen yang sudah disepakati
bersama, hal itu dapat dikategorikan sebagai bentuk pencederaan terhadap
prinsip-prinsip demokrasi.
Saling klaim kemenangan oleh kedua kubu makin menegaskan
terjadinya tragedi dan ironi dalam Pemilu 2019. Klaim kemenangan di tengah
belum tuntasnya KPU menyelesaikan penghitungan suara dan secara resmi
mengumumkan hasilnya merupakan bentuk penegasian terhadap KPU sebagai lembaga
negara penyelenggara pemilu yang sah. Hal yang sama sekaligus sebagai bentuk
ketidakhormatan terhadap pemilih (rakyat) dan demokrasi.
Maka lengkaplah, Pemilu 2019 sebagai pemilu yang memilukan karena
diwarnai banyak ironi dan tragedi. Jatuhnya banyak korban tidak menjadikan
pihak-pihak yang bersaing bersabar diri dan berbesar hati demi rasa duka cita
dan terjaganya pesta demokrasi dalam koridor nilai-nilai keindonesiaan yang
disepaktai. Bagi publik yang netral, Pemilu 2019 tidak hanya terasa sebagai
pemilu terakbar sepanjang masa, melainkan juga paling mematikan dan, rasanya, paling
memprihatinkan dalam sejarah Indonesia.
Refleksi
Lima tahun merupakan waktu yang singkat sehingga untuk menghadapi
Pemilu 2024 kita harus segera melakukan refleksi mendalam agar pengalaman buruk
Pemilu 2019 tidak terulang. Pemilu 2019, seperi pemilu-pemilu sebelumnya, lebih
banyak digelar dengan mempertimbangkan aspek politik dan ekonomi. Itulah
sebabnya, meski hemat biaya, penyelenggaraannya diwarnai jatuhnya banyak
korban, cederanya prinsip-prinsip demokrasi, mencuatnya politik identitas, serta
merosotnya moral dan kesantunan luhur Indonesia.
Sudah waktunya aspek-aspek yang bersifat sosiologis,
fisiologis-medis, psikologis, dan religius-ideologis menjadi pertimbangan dan
kesadaran serius bersama dalam penyelenggaraan pemilu-pemilu mendatang. Jika
hal itu dipertimbangkan dan diimplementasikan secara konkret melalui regulasi
pemilu disertai dengan penegakan hukum yang konsisten, pemilu-pemilu mendatang
akan berlangsung dengan hasil dan dampak yang lebih baik. Pemilu mungkin belum
akan berjalan dengan sempurna, tetapi setidaknya akan memperlihatkan karakternya
yang lebih adil, beradab, dan bermartabat sehingga kita tidak hanya dikenang
sebagai penyelenggara pemilu yang paling rumit dan paling sulit, melainkan juga
elegan dan berbudaya.