Minggu, 15 Oktober 2017

Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: static.republika.co.id

UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat turut melengkapi komponen perundang-undangan dalam sistem peradilan kita. Undang-undang ini mengatur pengangkatan advokat, sumpah advokat, status advokat, pemberhentian advokat, hak dan kewajiban advokat, serta hal-hal lain yang terkait dengan pekerjaan dan tugas advokat. Lebih terperinci, hal-hal yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003, di antaranya, sebagai berikut.
·         Dalam Bab I (Ketentuan Umum), antara lain, dijelaskan pengertian tentang advokat, jasa hukum, klien, pembelaan diri, advokat asing, dan bantuan hukum.
·         Dalam Bab II (Pengangkatan, Sumpah, Status, Penindakan, dan Pemberhentian Advokat), antara lain, diatur tentang persyaratan pengangkatan advokat, sumpah atau janji advokat sebelum menjalankan tugas, status advokat sebagai penegak hukum, penindakan terhadap advokat, dan pemberhentian advokat.
·         Dalam Bab III (Pengawasan) diatur perihal pengawasan advokat oleh organisasi advokat, tujuan pengawasan advokat, pelaksanaan pengawasan advokat, dan keanggotaan komisi pengawas advokat.
·         Dalam Bab IV (Hak dan Kewajiban Advokat), di antaranya, diatur masalah kebebasan advokat mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara; hak advokat untuk memperoleh informasi, data, dan dokumen lain dalam menjalankan profesi; larangan bagi advokat untuk berlaku diskriminatif terhadap klien; serta larangan bagi advokat untuk memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.
·         Dalam Bab VII (Advokat Asing), antara lain, diatur perihal larangan bagi advokat asing untuk beracara dalam sidang pengadilan, berpraktik, dan/atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilan di Indonesia serta kewajiban bagi advokat asing untuk memberikan jasa hukum secara cuma-cuma untuk suatu waktu kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum.
·         Dalam Bab IX (Kode Etik dan Dewan Kehormatan Advokat), antara lain, diatur ihwal kewajiban advokat untuk mematuhi kode etik profesi, pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi advokat, pembentukan dewan kehormatan organisasi advokat, serta keanggotaan dewan kehormatan organisasi advokat.

·         Dalam Bab X (Organisasi Advokat), antara lain, diatur ihwal kebebasan dan kemandirian organisasi advokat; penetapan susunan organisasi advokat dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; larangan bagi pemimpin organisasi advokat untuk melakukan rangkap jabatan dengan pemimpin partai politik; serta kewajiban kantor advokat untuk memberikan bimbingan, pelatihan, dan kesempatan praktik kepada calon advokat yang melakukan magang.

Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: http www.pn-tubei.go.id

Orang miskin yang mengalami masalah hukum berhak untuk mendapatkan bantuan hukum. Hal ini dijamin oleh UU No. 16 Tahun 2011. Undang-undang ini mengatur masalah pemberian bantuan hukum bagi kalangan tak mampu yang mengalami masalah hukum untuk mendapatkan akses keadilan. Lebih terperinci, hal-hal yang diatur dalam UU No. 16 Tahun 2011, antara lain, sebagai berikut.
·         Dalam Bab I (Ketentuan Umum), antara lain, dijelaskan batasan tentang bantuan hukum, penerima bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, dan standar bantuan hukum.
·         Dalam Bab II (Ruang Lingkup), antara lain, diatur permasalahan hukum yang dihadapi klien yang mendapatkan bantuan hukum, bentuk-bentuk bantuan hukum yang diberikan, serta cakupan dan kriteria orang yang mendapatkan bantuan hukum.
·         Dalam Bab III (Penyelenggaraan Bantuan Hukum),  di antaranya, diatur perihal maksud penyelenggaraan bantuan hukum, pihak yang menyelenggarakan pemberian bantuan hukum, tugas dan wewenang menteri yang menyelenggarakan bantuan hukum, serta verifikasi dan akreditasi atas kelayakan lembaga pemberi bantuan hukum.
·         Dalam Bab IV (Pemberi Bantuan Hukum), antara lain, diatur perihal persyaratan (lembaga) pemberi bantuan hukum, hak pemberi bantuan hukum, dan kewajiban pemberi bantuan hukum.
·         Dalam Bab V (Hak dan Kewajiban Penerima Bantuan Hukum) diatur ketentuan mengenai hak penerima bantuan hukum dan kewajiban penerima bantuan hukum.
·         Dalam Bab VI (Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum), antara lain, diatur ketentuan tentang syarat-syarat untuk memperoleh bantuan hukum, cara mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan hukum, serta cara penerimaan dan penolakan atas permohonan untuk memperoleh bantuan hukum.
·         Dalam Bab VII (Pendanaan), antara lain, diatur ketentuan mengenai pembebanan dan sumber pendanaan pemberian bantuan hukum serta kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBN).

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: cdn.tmpo.co
Dalam sistem peradilan kita, para narapidana (orang yang melalui proses peradilan terbukti melakukan tindak pidana atau kejahatan dan dijatuhi hukuman) dikategorikan sebagai “warga binaan pemasyarakatan”. Pada hakikatnya, warga binaan pemasyarakatan, sebagai insan dan sumber daya manusia, harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu.
Dilakukannya pemasyarakatan menjadi bagian upaya penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan sadar akan kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana yang dilakukannya sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, serta dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur upaya dan kegiatan pembinaan terhadap para narapidana (warga binaan) sebagai bagian akhir dari sistem dan proses pemidanaan. Lebih detail, hal-hal yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995, antara lain, sebagai berikut.
·          Dalam Bab I (Ketentuan Umum), antara lain, dijelaskan pengertian mengenai pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan (Lapas/LP), balai pemasyarakatan, warga binaan pemasyarakatan, terpidana, narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan.
·          Dalam Bab II (Pembinaan), antara lain, diatur asas pembinaan pemasyarakatan; Lapas sebagai tempat pembinaan warga binaan pemasyarakatan; pembimbingan warga binaan pemasyarakatan oleh Bapas (Balai Pemasyarakatan); petugas pemasyarakatan sebagai pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan warga binaan; serta pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional.
·          Dalam Bab III (Warga Binaan Pemasyarakatan), di antaranya, diatur ketentuan mengenai kewajiban pendaftaran terpidana yang diterima di Lapas; penggolongan narapidana di Lapas; pembinaan narapidana wanita di Lapas wanita; hak-hak narapidana; syarat dan tata cara pelaksanaan hak narapidana; pemindahan narapidana dari satu Lapas ke Lapas lain; syarat dan tata cara pemindahan narapidana; penyidikan terhadap narapidana yang terlibat perkara lain; penempatan dan pembinaan anak pidana di Lapas anak; penempatan dan pembinaan anak negara di Lapas anak; penempatan dan pembinaan anak sipil di Lapas anak; serta hak-hak anak pidana, anak negara, dan anak sipil.
·          Dalam Bab IV (Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan), di antaranya, diatur ketentuan mengenai pembentukan balai pertimbangan pemasyarakatan dan tim pengamat pemasyarakatan, serta tugas balai pertimbangan pemasyarakatan dan tim pengamat pemasyarakatan.

·          Dalam Bab V (Keamanan dan Ketertiban), antara lain, diatur ketentuan tentang tanggung jawab kepala Lapas atas keamanan dan ketertiban di Lapas, wewenang kepala Lapas untuk mendisiplinkan atau menjatuhkan hukuman disiplin kepada warga binaan pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban, jenis hukuman disiplin yang diberikan kepada pelanggar aturan keamanan dan ketertiban, serta kelengkapan sarana dan prasarana kerja pegawai pemasyarakatan.