Oleh Akhmad Zamroni
|
Sumber: 3.bp.blogspot.com |
Seperti
kita ketahui, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah
dekret (dekret tersebut kemudian populer dengan sebutan Dekret 5 Juli 1959).
Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan Presiden Soekarno mengeluarkan dekret
ini, yakni Konstituante tidak mampu membuat konstitusi baru (karena para
anggotanya hanya sibuk berdebat memperjuangkan kepentingan partainya
masing-masing), terjadinya instabilitas politik akibat sering jatuh bangunnya
kabinet, serta maraknya pemberontakan dan gerakan sparatisme di berbagai daerah.
Keluarnya
Dekret 5 Juli 1959 menimbulkan kontroversi di tengah kehidupan bangsa
kita saat itu dan pada waktu-waktu berikutnya.
Ada kalangan yang
menilai keputusan Presiden Soekarno mengeluarkan dekret itu sebagai tindakan
yang bertentangan dengan konstitusi, tetapi ada juga kalangan yang menilainya
sebagai keputusan yang benar. Kalangan yang menilai dekret itu bertentangan
dengan konstitusi beralasan bahwa presiden tidak memiliki wewenang untuk
membubarkan Konstituante, menentukan berlakunya undang-undang dasar, dan
memutuskan pembentukan MPR. Sebaliknya, kalangan yang membenarkannya beralasan
bahwa langkah presiden tersebut diambil dalam keadaan terpaksa (darurat) untuk
menghindarkan negara dari kehancuran.
Terlepas dari soal
benar atau salah, perkembangan keadaan yang kemudian terjadi memperlihatkan
bahwa pemerintahan Presiden Soekarno sendiri banyak melakukan pelanggaran
terhadap konstitusi. Melalui Dekret 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menyatakan
berlakunya kembali Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945). Namun, setelah itu pemeritahan yang dipimpinnya –– yang kemudian populer
dengan sebutan pemerintahan Orde Lama –– justru seringkali berjalan di luar
ketentuan-ketentuan UUD 1945. Adapun pemerintahan baru yang kemudian
menggantikannya –– yang dipipimpin
Presiden Soeharto dan dikenal dengan sebutan pemerintahan Orde Baru –– juga
melakukan hal yang yang sama, yakni banyak menyimpang dari ketentuan UUD 1945.
A. Penyimpangan Masa Pemerintahan Orde Lama
Setelah mengeluarkan
Dekret 5 Juli 1959 dan Indonesia kembali pada UUD 1945, Presiden Soekarno
menerapkan sistem penyelenggaraan negara yang disebutnya sebagai “Demokrasi Terpimpin”. Sistem ini sepintas
seperti akan menghadirkan iklim yang demokratis dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Namun, yang terjadi selanjutnya justru kebalikannya:
presiden dan pemerintah memimpin kegiatan penyelenggaraan negara dengan
sewenang-wenang dan penuh penyimpangan terhadap UUD 1945.
1. Penetapan Presiden (Penpres)
Penyimpangan paling menonjol yang dipraktikkan
pemerintah Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno ialah dikeluarkannya
keputusan yang disebut sebagai “penetapan presiden” (atau penpres). Penpres dikeluarkan
tanpa melalui persetujuan DPR, tetapi dijadikan peraturan yang setara atau
setingkat dengan undang-undang. Melalui penpres inilah presiden akhirnya
tergiring menjadi pemimpin yang otoriter.
Penpres jelas bertentangan dengan UUD1945
karena dikeluarkan tanpa persetujuan DPR, sementara kedudukannya diberi
kekuatan seperti undang-undang. Menurut ketentuan UUD 1945, undang-undang harus
dibuat, disahkan, dan diberlakukan oleh pemerintah (presiden) dengan persetujuan
DPR. Adapun dalam pelaksanaannya, penpres yang hanya dibuat presiden justru
dikeluarkan untuk mengatur hal-hal yang seringkali di luar kewenangan presiden.
|
Sumber: 3.bp.blogspot.com |
Melalui penpres
Presiden Soekarno secara sepihak mengeluarkan banyak keputusan tentang hal-hal
kenegaraan yang berdasarkan UUD 1945 di luar wewenangnya.
Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan presiden terkait dengan penpresnya,
antara lain, sebagai berikut:
·
Penpres No. 2 Tahun
1959 dikeluarkan presiden untuk membentuk MPRS.
·
Penpres No. 3 Tahun
1959 dikeluarkan untuk membentuk DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara).
·
Penpres No. 7 Tahun
1959 dikeluarkan untuk membubarkan partai politik.
·
Penpres No. 13 Tahun
1959 dikeluarkan untuk membentuk Front Nasional.
·
Penpres No. 3 Tahun
1960 dikeluarkan untuk membubarkan DPR.
·
Penpres No. 4 Tahun 1960
dikeluarkan untuk membentuk DPR-GR (Gotong Royong).
2. Krisis Kedudukan dan Fungsi MPRS dan DPR
MPRS yang menurut UUD 1945 ketika itu
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara juga mengalami krisis kedudukan
dan fungsi .
Pada saat itu kedudukan MPRS secara menyimpang telah dibuat lebih rendah
dibandingkan dengan presiden. Hal ini terlihat jelas dari pembentukan MPRS yang
dilakukan melalui penpres, sementara para anggota dan pemimpin MPRS juga
ditunjuk oleh presiden.
Praktis, MPRS berubah
kedudukan dan fungsinya sebagai alat kepentingan presiden. Ketetapan-ketetapan
MPRS banyak dikeluarkan untuk kepentingan presiden daripada untuk kepentingan
rakyat. Beberapa contoh penyimpangan
yang dilakukan MPRS dapat dilihat dari kasus-kasus berikut ini.
·
Dengan Tap. No.
I/MPRS/1960, MPRS mengukuhkan Manipol (Manifesto Politik Republik Indonesia)
menjadi GBHN.
·
Dengan Tap. No.
III/MPRS/1963, MPRS mengangkat Soekarno menjadi presiden seumur hidup.
Realitas politik
menunjukkan keadaan yang jungkir balik: presiden tidak tunduk kepada MPR,
melainkan MPR-lah yang tunduk dan dikendalikan presiden. Hal serupa terjadi
juga pada DPR (DPR-GR) dan DPA (DPAS). Kedua lembaga tinggi negara ini, menurut
UUD 1945, memiliki kedudukan yang sama dengan presiden. Namun, akibat presiden
telah menjadi diktator yang bertindak otoriter, keduanya berada di bawah
kedudukan dan kendali presiden. Pembentukan DPR dan DPA dilakukan presiden
melalui penpres, sementara keanggotaannya juga dipilih oleh presiden. Maka,
seperti halnya MPR, keputusan-keputusan DPR dan DPA juga lebih bersifat memperjuangkan
kehendak dan kepentingan presiden daripada kepentingan rakyat dan negara.
|
Sumber: penasoekarno.files.wordpress.com |
3. Ketiadaan Demokrasi
Demokrasi yang dijanjikan melalui sistem Demokrasi
Terpimpin sama sekali tidak muncul dan dirasakan oleh rakyat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Demokrasi tersisihkan dan terbenam oleh kepemimpinan
Presiden Soekarno yang diktator dan otoriter. Tidak ada satu pihak atau
kekuatan pun yang berada di atas atau berdiri sejajar dengan presiden. Bahkan, presiden
berikut keputusan-keputusannya berada di atas konstitusi karena kedudukan dan
kewenangannya melampaui UUD 1945.
Penyimpangan tersebut tentu saja akhirnya
menyebabkan kehidupan politik, hukum, ekonomi, sosial, dan sebagainya menjadi
tidak sehat. Kekuatan-kekuatan tertentu –– terutama PKI (Partai Komunis
Indonesia) dan angkatan darat –– yang diuntungkan oleh kepemimpinan presiden
yang otoriter tergoda untuk memanfaatkan runyamnya keadaan. Kemudian muncul
peristiwa tragis G-30-S (Gerakan 30 September 1965) yang mengguncang negara.
Peristiwa G-30-S, yang diduga kuat didalangi
oleh PKI, menyebabkan kehidupan berbangsa dan bernegara makin kacau. Terjadi
krisis politik, ekonomi, dan sosial. Presiden Soekarno dan pemerintahan Orde
Lama yang dipimpinnya akhirnya jatuh akibat desakan kuat dari rakyat, terutama
dari mahasiswa dan pelajar.
B. Penyimpangan Masa Pemerintahan Orde Baru
Tersingkirnya
pemerintahan Orde Lama dari kekuasaan segera disusul berkuasanya pemerintahan
baru, yakni pemerintah Orde Baru, di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Presiden
Soeharto dan Orde Baru tampil dengan tekad mengoreksi total kesalahan pemerintah
Orde Lama serta berjanji akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dengan murni
dan konsekuen. Presiden Soeharto dan Orde Baru dengan menggebu-gebu menerapkan
sistem demokrasi yang mereka sebut sebagai “Demokrasi Pancasila”.
Namun,
apa yang dilakukan Presiden Soeharto dan pemerintah Orde Baru selanjutnya,
ternyata, sama saja dengan praktik yang dilakukan Presiden Soekarno dan pemerintahan
Orde Lama. Presiden Soeharto dan pemerintah Orde Baru mengingkari janjinya
untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Mereka justru banyak sekali
melakukan penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945. Penyimpangan mereka
bahkan dapat dikatakan lebih parah daripada penyimpangan yang dilakukan
pemerintah Orde Lama.
|
Sumber: static.republika.co.id |
1. Penyalahgunaan
Pancasila dan UUD 1945
Janji pemerintah Orde Baru di bawah Presiden
Soeharto untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
tidak lebih hanyalah isapan jempol. Mereka bukannya patuh dan melaksanakan
dasar negara dan konstitusi tersebut dengan baik, tetapi malah menyalahgunakannya
demi kekuasaan dan kepentingan mereka. Pancasila dan UUD 1945 tidak hanya
mereka langgar, melainkan juga disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan
mereka yang menyimpang.
Melalui apa yang disebut sebagai P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), Orde Baru melakukan penafsiran sepihak
terhadap kandungan nilai-nilai Pancasila dan memaksakannya kepada seluruh unsur
bangsa. Sebagai petunjuk pemahaman dan pelaksanaan Pancasila, P4 ditanamkan ke
semua lapisan masyarakat dengan tujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai
Demokrasi Pancasila. Namun, hal itu cenderung sebagai indoktrinasi terhadap
masyarakat. Pikiran masyarakat dibentuk agar mempercayai Orde Baru sebagai
pelaksana nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 –– padahal kenyataannya tidak
demikian –– sehingga tumbuh dukungan terhadap Orde Baru.
Sementara itu, adanya celah dalam UUD 1945
(sebelum diamendemen tahun 1999) juga dimanfaatkan Orde Baru untuk berkuasa
melebihi batas kewajaran dan kenormalan. Tiadanya pembatasan masa jabatan
presiden dalam UUD 1945, digunakan Orde Baru untuk melanggengkan Jenderal
Soeharto menjadi presiden agar kepentingan unsur-unsur Orde Baru terlindungi
dan terus-menerus dapat berkuasa. Oleh sebab itu, UUD 1945 yang sebenarnya
memungkinkan untuk diubah atau diamendemen (melalui pasal 37) oleh Orde Baru
sangat disakralkan, dibiarkan apa adanya, dan tidak akan diperbarui lagi.
2. Penyelewengan Pemilu
Untuk melanggengkan kekuasaannya, Orde Baru
juga dengan sistematis menyelewengkan pemilihan umum (pemilu) untuk memilih
anggota DPR dan MPR. Dalam setiap pemilu, seluruh pejabat, aparat negara, dan
pegawai negeri sipil diwajibkan untuk memilih Golkar (Golongan Karya).
Masyarakat juga mendapat banyak pemaksaan untuk memilih Golkar. Sebagai partai
politik milik Orde Baru, Golkar dirancang untuk selalu memenangkan pemilu dengan
angka mutlak agar pemerintahan, DPR, dan MPR selalu dikuasai orang-orang Orde
Baru.
Untuk
mengurangi risiko kalahnya Golkar
dalam pemilu, Orde Baru juga melarang berdirinya partai politik baru di luar
partai politik yang sudah ada, yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PDI
(Partai Demokrasi Indonesia), dan Golkar sendiri. Larangan tersebut dituangkan
dalam undang-undang paket politik. Adapun kegiatan pemilu sendiri selain diwarnai
kuatnya pemaksaan untuk memilih Golkar, juga hampir selalu dipenuhi kecurangan
dalam pemungutan dan penghitungan suara.
|
Sumber: static.inilah.com |
3. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Selama berkuasa, pemerintah Orde Baru melakukan
korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan besar-besaran dan sistematis. Pejabat
pemerintah, dari yang tertinggi hingga yang terendah, dihinggapi perilaku korup
yang sangat parah, demikian juga aparat hukum, aparat keamanan, pengusaha,
anggota DPR, dan anggota lembaga tinggi negara. Selama Presiden Soeharto dan
Orde Baru berkuasa, diperkirakan ratusan triliun rupiah uang negara dan rakyat
lenyap dikorupsi.
Selain itu, proses penggunaan dana pembangunan
serta penerimaan pegawai pemerintah dan anggota DPR dan MPR juga dipenuhi
praktik kolusi dan nepotisme. Kontrak-kontrak pembangunan fisik hampir selalu
dilakukan dengan kolusi. Adapun penerimaan pegawai negeri sipil serta
penyusunan daftar calon anggota DPR dan MPR juga dilakukan dengan nepotisme,
yakni cenderung hanya memilih dan mengangkat orang-orang yang dekat dan
bersedia diajak kerja sama dengan Orde Baru.
4. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Dalam kegiatan pemilu tampak sekali pemerintah
Orde Baru melakukan pelanggaran hak asasi manusia warga negara. Orde Baru
melakukan pemaksaan kepada masyarakat untuk memilih salah satu peserta pemilu
(Golkar) serta melarang masyarakat untuk mendirikan partai politik baru. Pemaksaan
dan pelarangan itu jelas melanggar hak asasi warga negara untuk bebas
menentukan pilihan politik dan berserikat (berorganisasi) sebagaimana diatur
dalam UUD 1945.
Namun, di luar itu, Orde Baru masih melakukan
pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang lain. Masyarakat sangat dibatasi
untuk menyampaikan pendapat, terutama pendapat yang berbeda dengan pandangan
Orde Baru atau pendapat yang bersifat kritik. Tokoh dan kalangan yang kritis
diawasi dengan sangat ketat dan sebagian ditahan tanpa proses pengadilan yang
wajar. Beberapa media massa cetak yang sering memberitakan penyelewengan
pemerintah juga diberedel (ditutup/dibubarkan secara paksa).
Pemerintah Orde Baru
bahkan berkali-kali melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang tergolong
berat. Kalangan masyarakat yang dianggap berseberangan pendapat dan berani
menentang pemerintah seringkali diperlakukan sangat tidak manusiawi, dengan
diusir, ditangkap, dipenjara, diculik, diserang, dan bahkan dibunuh.
Pelanggaran berat hak asasi semacam ini, antara lain, terjadi di Aceh, Papua
(Irian Jaya), Lampung, Kedungombo (Jawa Tengah), dan Jakarta.
5. Penyimpangan
Lain
Selain penyimpangan-penyimpangan di depan, Orde
Baru masih melakukan beberapa penyimpangan lain. Penyimpangan-penyimpangan
tersebut umumnya dilakukan Orde Baru untuk tujuan mempertahankan kekuasaan.
Berikut adalah beberapa penyimpangan lain terhadap konstitusi yang dilakukan
pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto selama sekitar 32
tahun berkuasa.
|
Sumber: 2.bp.blogspot.com |
· ABRI
(sekarang TNI) yang tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara disalahgunakan Orde Baru untuk melindungi kepentingan dan kekuasaannya. ABRI
cenderung dijadikan alat politik Orde Baru. Oleh sebab itu, ABRI ikut aktif
berpolitik, termasuk turut memberikan suara dalam pemilihan umum (pemilu), untuk
mendukung kekuasaan Orde Baru.
· Pemerintah
Orde Baru menggerakkan kegiatan ekonomi dengan mengistimewakan kelompok usaha
besar, terutama yang dekat dengan rezim Orde Baru. Lewat kolusi dan nepotisme,
para pengusaha besar diberi fasilitas yang menguntungkan. Hal ini selain sangat
merugikan keuangan negara, juga menyebabkan hasil pembangunan ekonomi tidak
dinikmati masyarakat secara adil dan merata.
·
Pemerintah
Orde Baru memfungsikan hukum bukan sebagai alat untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan secara semestinya. Hukum cenderung digunakan untuk berpihak kepada
para pejabat dan aparat pemerintah atau kepada mereka yang mampu membayar uang
dalam jumlah besar. Begitu banyak kasus korupsi dan skandal lain dengan pelaku
pejabat yang luput dari proses pengadilan akibat pengadilan umumnya telah
dipengaruhi dan dikendalikan oleh pemerintah.
6. Krisis Multidimensi dan Gerakan Reformasi
Penyimpangan terhadap konstitusi
yang dilakukan pemerintah Orde Baru mulai mencapai batas maksimalnya ketika
terjadi krisis kehidupan bangsa dan negara tahun 1997/1998. Dimulai dengan
krisis moneter dan ekonomi pada Juli 1997, krisis yang merebak kemudian begitu
hebat dan melanda semua bidang kehidupan. Utang luar negeri mencapai ribuan triliun
rupiah, harga barang kebutuhan pokok melambung tinggi, bank dan perusahaan
banyak yang gulung tikar, angka pengangguran dan kemiskinan melonjak, banyak
terjadi konflik dan kerusuhan sosial, penculikan dan pembunuhan terjadi di
mana-mana, sarana umum banyak yang hancur diamuk massa, kehidupan politik
kacau-balau, beberapa provinsi berusaha memisahkan diri menjadi negara merdeka,
serta hukum tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Krisis yang populer dengan sebutan krisis
multidimensi itu tidak lain dipicu oleh parahnya penyimpangan yang dilakukan
oleh pemerintah Orde Baru. Penyimpangan sistematis Orde Baru selama puluhan
tahun mengakibatkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara menjadi sangat
rapuh dan keropos. Sendi-sendi tersebut menjadi mudah sekali berantakan saat
diguncang dan dilanda krisis.
Krisis yang terjadi kemudian mendorong
munculnya gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa. Gerakan reformasi
diwujudkan dalam bentuk demonstrasi besar-besaran pada paruh pertama tahun 1998
untuk menuntut mundur Presiden Soeharto dan pemerintah Orde Baru dari kekuasaan
serta mendesak dilakukannya perbaikan terhadap semua bidang kehidupan, terutama
bidang ekonomi, politik, dan hukum. Akibat begitu dahsyatnya tuntutan dan
desakan yang muncul, Presiden Soeharto dan pemerintah Orde Baru akhirnya jatuh
dan tersingkir dari kekuasaan.